Jayapura, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa tujuh penyelenggara pemilu Kabupaten Jayawijaya dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) untuk perkara nomor 157-PKE-DKPP/XI/2020 di Kantor Bawaslu Provinsi Papua, Jayapura, Kamis (17/12/2020).
Tujuh penyelenggara pemilu ini terdiri dari lima Anggota dari KPU Kabupaten Jayawijaya dan dua Anggota dari Bawaslu Kabupaten Jayawijaya.
Lima Anggota KPU Kabupaten Jayawijaya yang menjadi Teradu adalah Sonimo Lani (Anggota merangkap Ketua), Marten Marian, Agustinus Aronggear, Alpius Asso, dan Tinus Wuka. Kelima nama tersebut secara berurutan berstatus sebagai Teradu I sampai Teradu V.
Sedangkan dua Anggota Bawaslu Kabupaten Jayawijaya yang menjadi Teradu adalah Fredy Wamo (merangkap Ketua) dan Ansar. Secara berurutan, masing-masing dari keduanya berstatus sebagai Teradu VI dan Teradu VII.
Ketujuh nama di atas diadukan oleh mantan Caleg DPRD Kabupaten Jayawijaya Yope Wenda, yang memberikan kuasa kepada Kornelius Logo.
Dalam pokok aduannya, Pengadu menyebut adanya dugaan perubahan Formulir Berita Acara (BA) DA.1 ke dalam BA DB.1 oleh Teradu I-V sehingga mengakibatkan perolehan suara milik Yope berkurang, dari 1.347 suara menjadi 110 suara.
Sedangkan Teradu VI dan Teradu VII diduga tidak profesional karena tidak melakukan pencegahan dan penindakan terhadap tindakan yang dilakukan oleh Teradu I-V.
Dalam persidangan, dalil ini dibantah para Teradu. Ketua KPU Kabupaten Jayawijaya yang berstatus sebagai Teradu I, Sonimo Lani, mengungkapkan bahwa pihaknya hanya merekap data yang diserahkan oleh Panitia Pemilihan Distrik (PPD) dalam bentuk BA DA yang diserahkan dalam kotak tersegel dan baru dibuka saat rapat pleno.
Ia juga menyebut bahwa pihaknya selalu diawasi oleh Bawaslu dan dalam setiap permasalahan yang timbul ketika melakukan tabulasi atau rekapitulasi data.
“KPU Jayawijaya selalu meminta pendapat dari Bawaslu sebagai Lembaga pengawas yang diatur oleh undang-undang,” jelas Sonimo.
Ia menambahkan, rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara ini sempat diskors hingga tujuh kali. Namun menurutnya, Yope Wenda tidak hanya hadir sekali saja hingga hasil perolehan suara diumumkan secara resmi.
Hal ini pun diakui oleh Yope Wenda dalam persidangan. “Kami langsung pulang setelah KPU umumkan 1.347 suara. Kami senang jadi langsung pulang dan tidak mengikuti rekapitulasi selanjutnya,” kata Yope.
Untuk diketahui, perubahan suara yang dipermasalahkan oleh Yope merupakan suara yang berasal dari Distrik Wame, Kabupaten Jayawijaya.
Anggota Bawaslu Kabupaten Jayawijaya yang juga merupakan Teradu VII, Ansar mengungkapkan, pada saat PPD Wame selesai membacakan rekapitulasi hasil perhitungan perolehan suara untuk distrik Wame, terdapat keberatan dari saksi-saksi terhadap hasil yang sudah dibacakan oleh PPD Wame tersebut.
Menurut Ansar, pihaknya bersama KPU Kabupaten Jayawijaya langsung memanggil Panitia Pemilihan Distrik (PPD) Wame dan Panitia Pengawas (Panwas) Wame untuk mengklarifikasi hal ini. Dari klarifikasi PPD Wame, diketahui terdapat 2 (dua) versi DA-1 Distrik Wame untuk DPRD Kabupaten.
“Sehingga Bawaslu menyarankan untuk rekapitulasi Distrik Wame ditunda dan diberikan kesempatan kepada PPD Wame dan Panwas Distrik Wame, agar hasil perolehan suara yang sebenarnya dari lapangan yang dibacakan dan selanjutnya diberikan kesempatan kepada PPD Distrik yang lain untuk membacakan hasil rekapitulasinya,” jelasnya.
Kepada majelis, Ansar membantah bahwa pihaknya tidak melakukan pencegahan dan penindakan terkait hal ini. Terkait aduan Yope, katanya, Bawaslu Kabupaten Jayawijaya pun telah tiga kali mengingatkan KPU Kabupaten Jayawijaya sebagai pimpinan rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil perhitungan perolehan suara.
“Untuk mempedomani PKPU 4/2019, tetapi KPU Kabupaten Jayawijaya mengabaikan dan tetap mengarahkan saksi yang keberatan untuk mengisi form Db-2,” ujar Ansar.
Hanya saja, Ansar mengaku tidak dapat menghadirkan bukti-bukti yang dibutuhkan dalam sidang. Ia berdalih, semua dokumen yang dimiliki Bawaslu Kabupaten Jayawijaya, baik dokumen fisik maupun digital, hilang karena kantor mereka dirusak oleh massa.
“Hilang akibat kerusuhan di Wamena pada 23 September 2019,” katanya.
Sidang ini dipimpin oleh Anggota DKPP, Dr. Alfitra Salamm yang bertindak sebagai Ketua Majelis. Ia didampingi oleh Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Papua selaku Anggota Majelis, yaitu Yusak Elisa Reba (unsur Masyarakat) dan Niko Tunjunan (unsur Bawaslu). [Humas DKPP]