Jakarta, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) perkara nomor: 145-PKE-DKPP/IV/2025 di Kantor DKPP Jakarta, pada Selasa (22/7/2025).
Perkara ini diadukan Abdul Kadir. Ia mengadukan Anggota KPU RI, Iffa Rosita, dan Anggota KPU Provinsi Papua, Steve Dumbon, Masing-masing sebagai teradu I dan teradu II.
Kedua teradu didalilkan menyampaikan keterangan palsu atau tidak benar dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Februari 2025. Pengadi menilai keterangan keduanya bertentangan dengan ketentuan PKPU Nomor 8 Tahun 2024.
Keterangan dimaksud terkait dengan batas waktu perbaikan persyaratan pasangan calon Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Papua. Saat itu, keduanya menjawab perbaikan persyaratan pencalonan bisa dilakukan sampai dengan penetapan pasangan calon yakni 22 September 2024.
“Kedua teradu tidak jujur dalam sidang MK, sesungguhnya teradu I dan II mengetahui kapan batas akhir perbaikan persyaratan calon itu harus dilakukan. Keduanya sengaja menyampaikan jawaban yang menyimpang dari perundang-undangan,” ungkap pengadu.
Pengadu menegaskan, berdasarkan lampiran I Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024, telah diatur jelas dan tegas waktu perbaikan persyaratan calon adalah 6 – 8 September 2024.
Jawaban teradu I dan II tersebut dinilai bertujuan jahat untuk menutupi pelanggaran pada pilkada Provinsi Papua 2024, sekaligus untuk mengelabui hakim Mahkamah Konstitusi.
“Patut dinilai jawaban teradu I dan II itu untuk mempengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara PHPU Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua. Ini sudah dikualifikasikan sebagai memberikan keterangan palsu atau keterangan tidak benar,” tegasnya.
Pengadu menambahkan jawaban teradu I dan II dalam sidang MK tersebut tidak sejalan dengan putusan DKPP Nomor 299-PKE-DKPP/XI/2024 yang dibacakan tanggal 24 Januari 2025.
Dalam pertimbangan hukumnya, DKPP menyatakan KPU Papua telah bersikap tidak berkepastian hukum karena menerima dan menggunakan dokumen perbaikan persyaratan administrasi calon atas nama Yeremias Bisai di luar program, tahapan, dan jadwal.
“Apa yang para teradu sampaikan di sidang MK seakan hendak mengoreksi dan mereduksi bahwa Putusan DKPP a quo adalah salah dan keliru. Sehingga patut dinilai sebagai pembangkangan terhadap putusan DKPP,” pungkasnya.
Jawaban Teradu
Teradu I, Iffa Rosita, secara tegas membantah dalil yang disampaikan pengadu. Apa yang ia sampaikan dalam sidang MK tidak bermaksud menutupi pelanggaran dan menyampaikan keterangan yang menyimpang.
Dalam persidangan PHPU di Mahkamah Konstitusi, teradu I berkedudukan sebagai pendamping termohon yaitu KPU Provinsi Papua. Jawabannya dalam sidang tersebut untuk menjelaskan situasi dan konteks permasalahan yang terjadi di Provinsi Papua.
“Jawaban teradu I bukan kerangka normatif PKPU Nomor 8 Tahun 2024, tetapi sesuai pemahaman dan pengetahuan yang didapatkan melalui sejumlah dokumen surat, antara lain konsultasi KPU Provinsi Papua dan KPU RI,” tegasnya.
Teradu I menegaskan dalam persidangan PHPU bersifat pasif karena hanya sebagai pendamping. Sehingga, dirinya tidak memiliki kapasitas untuk membantah dalil-dalil yang diajukan pemohon.
“Bahwa pada saat teradu I menjawab juga sempat memastikan konteks permasalahan yang terjadi kepada anggota KPU Provinsi Papua,” ujarnya.
Bantahan yang sama juga disampaikan teradu II, Steve Dumbon. Jawaban pada sidang di Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan fakta lapangan yang terjadi terkait penyerahan dokumen persyaratan pencalonan.
“Itu adalah semata-mata menjawab dan menjelaskan kepada majelis Mahkamah Konstitusi berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan perihal penyerahan dokumen berdasarkan hasil klarifikasi dari tanggapan masyarakat oleh PN Jayapura dalam persyaratan pencalonan,” tegas teradu II.
Sebagai informasi, sidang pemeriksaan ini dipimpinan Ketua Majelis, Heddy Lugito, didampingi Anggota Majelis, antara lain J. Kristiadi, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Ratna Dewi Pettalolo, dan Muhammad Tio Alianysah. (Humas DKPP)