Raja Ampat, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) untuk perkara Nomor 101-PKE-DKPP/V/2024 dan 105-PKE-DKPP/V/2024 di Kantor KPU Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, Kamis (18/7/2024).
Perkara 101-PKE-DKPP/V/2024 diadukan oleh sepuluh orang pengurus partai politik di Kabupaten Raja Ampat, yaitu Mohammad Taufik Sarasa, Fahmi Macap, Naftali Mambraku, Almenius Mambraku, Soleman Jack Dimara, Taharudin Wauyai, Willem Mambrasar, Paulus Marthen Abraham Umpain, Saruddin, dan Musa Fakdawer. Sepuluh nama tersebut memberikan kuasa kepada Arfan Poretoka, dkk.
Perkara Nomor 105-PKE-DKPP/V/2024 diadukan oleh Moh. Ali Bugis dan Arek Marsoris Mambrasar yang memberikan kuasa kepada Jamaluddin Rumatiga.
Para Pengadu dari kedua perkara di atas mengadukan orang yang sama dengan dalil aduan yang sama pula, sehingga sidang pemeriksaan dilakukan secara bersamaan.
Pihak yang diadukan oleh para Pengadu adalah Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Raja Ampat, yakni Arsyad Sehwaky (Ketua), Steven Eibe, Mustajib Saban, A. Rasyid Nurlete, dan Kalansina Aibini, yang secara berurutan berstatus sebagai Teradu I sampai Teradu V.
Selain itu, para Pengadu juga mengadukan Ketua dan Anggota Bawaslu Kabupaten Raja Ampat, yaitu Imran Rumbara (Ketua), Rizki Ibrahim, dan Markus Rumsowek, yang secara berurutan berstatus sebagai Teradu VI sampai Teradu VIII.
Dalam pokok aduannya, para Pengadu menyampaikan beberapa dalil salah satunya menyampaikan bahwa Teradu I sampai Teradu V telah memerintahkan pelaksanaan rapat pleno rekapitulasi perhitungan suara di tingkat distrik tidak dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Distrik (PPD) masing-masing distrik, melainkan dilaksanakan terpusat di Kantor KPU Kabupaten Raja Ampat tanpa alasan/keadaan genting.
Salah satu tim kuasa principal dalam perkara 101-PKE-DKPP/V/2024 Bhonto Adnan Wally mengungkapkan bahwa hal ini berdampak pada pemindahan kotak suara yang ironisnya tidak melibatkan perwakilan partai politik.
“Seharusnya proses rekapitulasi tingkat distrik dilakukan oleh PPD di masing-masing distrik, bukan di kantor KPU Kabupaten,” jelas Bhonto.
Pindahnya locus rapat pleno rekapitulasi perhitungan suara di tingkat distrik ke Kantor KPU Kabupaten Raja Ampat juga disebut Bhonto tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
“Harusnya KPU Provinsi, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten mengatakan kepada KPU Kabupaten bahwa hal itu melanggar aturan,” kata Bhonto.
Sementara principal pada perkara Nomor 105-PKE-DKPP/V/2024 Moh. Ali Bugis juga mengamini ucapan Bhonto. Menurutnya, banyak partai politik yang menahan diri dan menunggu sidang DKPP.
“Seharusnya pemindahan kotak suara ini dilakukan dengan melibatkan partai politik. Para Teradu (dari KPU Kabupaten Raja Ampat, red.) bahkan tidak mengirimkan surat pemberitahuan kepada partai politik,” ucap Ali Bugis.
Selain itu, para Pengadu dari kedua perkara ini juga mendalilkan Teradu VI sampai Teradu VIII tidak menindaklanjuti laporan-laporan yang disampaikan para Pengadu tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Teradu I sampai Teradu V.
Ali Bugis menambahkan, justru pihak Bawaslu Provinsi Papua Barat Daya yang menerima laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Teradu I sampai Teradu V.
“Kami sudah menunggu sidang ini karena berharap penyelenggara Pemilu yang Amanah dan independent di Kabupaten Raja Ampat,” katanya.
Jawaban Teradu
Ketua KPU Kabupaten Raja Ampat Arsyad Sehwaky mengakui bahwa pihaknya memang memindahkan locus rapat pleno rekapitulasi perhitungan suara di tingkat distrik ke Kantor KPU Kabupaten Raja Ampat.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan sarana prasarana di seluruh distrik yang ada di Kabupaten Raja Ampat. Menurutnya, proses rekapitulasi di tingkat distrik tidak hanya membutuhkan jaringan internet yang bagus, melainkan juga terdapat kebutuhan operasional lain seperti mesin cetak dan mesin foto copy.
“Karena wilayah Kabupaten Raja Ampat adalah kepulauan, sangat sulit untuk mendapatkan mesin foto copy dan mesin cetak untuk setiap distrik,” kata Arsyad.
Dalam kesempatan ini, Arsyad juga mengakui bahwa pihaknya tidak menyampaikan pemberitahuan secara resmi kepada partai politik tentang pemindahan ini. Ia berdalih bahwa pemindahan ini pasti akan tetap dihadiri oleh partai politik, karena telah mengundang saksi-saksi partai dalam pelaksanaan pleno tingkat Distrik di Kantor KPU Kabupaten Raja Ampat.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa pemindahan ini sudah dipraktikan dalam proses rekapitulasi pada Pilkada Tahun 2020 lalu.
“Kami memang tidak memberitahukan perpindahan kotak suara dari distrik ke kabupaten karena kami pikir semua perwakilan partai akan hadir,” kata Arsyad.
Sementara para Teradu dari Bawaslu Kabupaten Raja Ampat mengakui bahwa pihaknya telah menerima 16 laporan dari para Pengadu pada medio Februari 2024, khususnya setelah tahapan pemungutan suara.
Anggota Bawaslu Kabupaten Raja Ampat Markus Rumsowek menyebutkan, hampir semua laporan tersebut berisi dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu tingkat ad hoc, seperti PPD dan KPPS di seluruh Kabupaten Raja Ampat.
Ia menambahkan, bahwa ada laporan yang tidak di tindak lanjuti oleh Bawaslu Kabupaten Raja Ampat karea laporan itu tidak memenuhi syarat formil dan materil. Selain itu, lanjut Markus, Pelapor juga tidak memperbaiki kelengkapan laporan sesuai batas Waktu yang ditentukan.
“Dari seluruh laporan yang diterima, ada yang tidak memenuhi syarat formil, ada yang tidak memenuhi syarat materil sehingga laporan tidak dapat ditindaklanjuti,” terang Markus.
Sidang ini dipimpin oleh Ratna Dewi Pettalolo sebagai Ketua Majelis dan didampingi oleh tiga Anggota Majelis dari Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Papua Barat Daya, yaitu James Jansen Kastanya (unsur masyarakat), Regina Gembenop (unsur Bawaslu), dan Fatmawati (unsur KPU). [Humas DKPP]