Bandung, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan atas dugaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu (KEPP) untuk perkara Nomor 149-PKE-DKPP/V/2025 di Universitas Pendidikan Indonesia, Kota Bandung, Jumat (12/9/2025).
Perkara ini diadukan oleh Ahmad Ripa. Ia mengadukan Ketua KPU Kabupaten Tasikmalaya, Ami Imron Tamami (Teradu I), beserta empat anggotanya, yaitu: Ade Abdullah Sidiq, Yugastiana Ainulyakin, Intan Paramitha Sutiswa, dan Cecep Hamzah Pansuri (masing-masing sebagai Teradu II-V).
Turut diadukan juga Ketua Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya, Dodi Juanda (Teradu VI), beserta empat anggotanya, yaitu: Ahmad Aziz Firdauz, Syarif Ali, Tamrin, dan Nasita Mutiara R (masing-masing sebagai Teradu VII-X).
Para teradu didalilkan tidak disiplin karena telah meloloskan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati nomor urut 3 pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2024,yang secara agregat telah menjabat selama dua periode. Dan oleh sebab itu, para teradu juga didalilkan menghamburkan anggaran karena harus melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Ahmad menilai keputusan KPU dan Bawaslu yang tetap meloloskan calon bupati nomor urut 3 (Ade Sugianto) berimplikasi fatal. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 24 Februari 2025 akhirnya mengabulkan sebagian permohonan sengketa dari pasangan calon nomor urut 2. Putusan MK No. 132/PHPU.BUP-XXIII/2025 menyatakan Ade Sugianto didiskualifikasi dan memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di Kabupaten Tasikmalaya.
“Akibat keputusan ceroboh tersebut, pilkada yang menelan biaya lebih dari Rp82 miliar harus diulang. Anggaran besar yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat malah terbuang sia-sia,” ungkap Ahmad Ripa.
Jawaban Teradu
Ketua KPU Kabupaten Tasikmalaya, Ami Imron Tamami, mewakili Teradu I hingga V, menolak seluruh dalil aduan pengadu. Ia menegaskan bahwa semua tahapan pencalonan sudah dijalankan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Ia juga menyebutkan bahwa proses verifikasi dan klarifikasi terhadap calon bupati sudah dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku. Terkait periodesasi masa jabatan Ade Sugianto, Ami menjelaskan bahwa periode 2018–2021 tidak dihitung sebagai satu periode penuh karena hanya 2 tahun 3 bulan 20 hari.
“Status pencalonan Ade Sugianto memenuhi syarat. Kami sudah meminta klarifikasi kepada partai pengusung, pemerintah daerah, hingga berkonsultasi dengan KPU Provinsi. Semua prosedur ditempuh sebelum penetapan calon,” jelasnya.
Ami juga menambahkan bahwa Ade Sugianto sebelumnya berstatus Wakil Bupati yang diberi tugas tambahan menjalankan kewenangan bupati, bukan penjabat sementara. Oleh karenanya, masa tugasnya sebelum dilantik pada Desember 2018 tidak bisa dianggap sebagai satu periode bupati.
“Ade Sugianto tidak pernah berstatus penjabat sementara. Ia tetap Wakil Bupati dengan tugas tambahan hingga dilantik definitif, sehingga masa itu tidak dihitung satu periode penuh,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya, Dodi Juanda (Teradu VI), menegaskan bahwa pihaknya juga menolak semua tuduhan. Menurutnya, Bawaslu telah melakukan pengawasan ketat terhadap seluruh proses pencalonan.
Dodi memaparkan bahwa pihaknya mengawasi langsung proses klarifikasi terhadap tanggapan masyarakat yang mempertanyakan periodesasi Ade Sugianto. Hasil pengawasan itu menunjukkan masa jabatan 2018–2021 tidak dihitung satu periode penuh.
“Kami memastikan klarifikasi dilakukan sesuai aturan. Dokumen resmi menunjukkan masa jabatan Ade Sugianto sebagai Bupati hanya 2 tahun 3 bulan 20 hari, sehingga tidak dihitung satu periode penuh. Sebelum itu, beliau berstatus Wakil Bupati dengan tugas tambahan, bukan penjabat sementara,” terang Dodi.
Kepada Majelis, ia juga menjelaskan dalam menyusun pengawasan Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya berpedoman pada Surat Edaran Bawaslu Nomor 96 Tahun 2024 yang menegaskan penghitungan masa jabatan kepala daerah dihitung sejak pelantikan. Serta, tudingan terkait penghamburan anggaran. Menurutnya, pelaksanaan PSU adalah konsekuensi dari putusan MK, bukan akibat kelalaian pengawasan.
“PSU itu merupakan tindak lanjut atas putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Anggaran pun disusun sesuai aturan bersama pemerintah daerah, TAPD, dan DPRD. Kami tidak bisa semena-mena. Maka tuduhan kami menghamburkan anggaran adalah tidak benar,”ucapnya.
Sidang ini dipimpin oleh Ketua Majelis Muhammad Tio Aliansyah. Ia didampingi oleh tiga Anggota Majelis dari Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Jawa Barat, yaitu Martinus Basuki (unsur masyarakat), Hari Nazarudin (unsur KPU), dan Harminus Koto (unsur Bawaslu).[Humas DKPP]