Manokwari,
DKPP –
Para komisioner KPU dan Panwaslih Kabupaten Maybrat, Senin (8/5), menjalani
sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik. Pengaduan berkaitan dengan
pelaksanaan Pemilukada di kabupaten tersebut. Pengadu perkara ini adalah
pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2 Karel Murafel dan Yance Way
yang dikuasakan kepada Habel Howay dan Abdul Latif Lestaluhu.
Pokok pengaduan seperti disampaikan oleh Abdul Latif
di antaranya adalah soal pelaksanaan
rekapitulasi penghitungan suara di tingkat kabupaten pada 24 Februari 2017.
Pada saat itu sempat terjadi keributan karena Ketua KPU Maybrat Maria Kocu
mendiskualifikasi hasil rekapitulasi salah satu distrik (kecamatan) yakni
Distrik Aitiyo Barat. Menurut Maria, di distrik ini banyak terjadi
ketidakberesan.
Akibat pendiskualifikasian tersebut, situasi rapat
pleno menjadi gaduh. Ketua KPU Maybrat bahkan dikabarkan sempat dipukul oleh
pendukung paslon nomor urut 1 yang tidak terima dengan keputusan itu. Rapat sempat
ditunda, tetapi dilanjutkan lagi setelah Ketua KPU Maybrat diganti oleh
Komisioner lain, Nehemia Isir. Pengadu Abdul Latif mengatakan, rapat pleno
lanjutan ini dianggap tidak sah karena tidak dihadiri oleh Ketua KPU Maybrat,
saksi dari Paslon Nomor 2, dan Panwaslih Maybrat.
Pengganti Ketua KPU Maybrat Nehemia Isir beralasan,
penggantian Ketua KPU Maybrat dan pelaksanaan pleno lanjutan tidak lain untuk
menyelamatkan suara di Distrik Aitiyo Barat. Nehemia mengaku tidak ada
pelanggaran di distrik itu karena dia sendiri yang menjadi korwil di situ.
“Semua permasalahan di distrik sebenarnya sudah
selesai di tingkat rekapitulasi distrik. Kami melanjutkan rapat pleno kabupaten
semata-mata untuk menyelamatkan lembaga. PPD Aitinyo Barat adalah kaki tangan
kami, harus diselamatkan,†terang Nehemia.
Mantan Ketua KPU Maybrat Maria Kocu sempat membantah
bahwa dia sebenarnya tidak bermaksud mendiskualifikasi hasil rekapitulasi PPD
Aitiyo Barat. Ucapan dia tentang diskualifikasi hanyalah salah ucap yang
seharusnya skors menjadi diskualifikasi.
“Saya mengakui telah termakan oleh omongan salah
satu paslon. Maksud saya waktu itu rapat diskors bukan didiskualifikasi.
Buktinya saya mengetok palu satu kali yang artinya skors,†ungkap Maria.
Terhadap Panwaslih Maybrat, Pengadu mempermasalahkan
soal rekomendasi yang dikeluarkan Panwaslih. Disampaikan oleh Abdul Latif,
Panwaslih Maybrat tidak bekerja secara profesional karena rekomendasi yang
dikeluarkan melebihi yang diminta, dari 25 TPS menjadi 260 TPS. Panwaslih juga
diduga tidak cermat dengan jumlah TPS yang direkomendasikan.
Ketua Panwaslih Maybrat Aris Naa mengaku kesulitan
untuk melakukan kajian atas TPS yang diminta oleh Pengadu. Dia sudah mengundang
PPL dan KPPS untuk mengklarifikasi, tetapi tidak ada yang datang. Padahal batas
waktu yang ada hanya tiga hari ditambah dua hari jika memang dibutuhkan.
Situasi diceritakan waktu itu sangat tegang. Kantor Panwaslih terus menerus
didemo oleh paslon nomor 2.
“Kajian kami lima hari. Karena situasi mendesak,
pada 20 Februari mereka demo lagi karena sudah masuk tiga hari waktu kajian.
Anggota saya, Pak Imanuel Tahrin dan Samuel Asmuruf saya ajak duduk bersama.
Keduanya mengusulkan agar merekomendasikan saja 260 TPS yang harus di-PSU. Jadi
tidak ada klarifikasi dan kajian untuk 25 TPS yang diminta,†ujar Aris Naa.
Sidang ini diselenggarakan
di Kantor Bawaslu Provinsi Papua Barat di Kota Manokwari. Majelis diketuai oleh
Anggota DKPP Ida Budhiati dengan Anggota Saut Hamonangan Sirait serta empat Tim
Pemeriksa Daerah (TPD) dari Provinsi Papua Barat yakni Syors Antonius Prawar,
Abdul Halim Sidiq, Rudi A. Maturbong, dan Johanes Ranjaan. (Arif Syarwani)