Palembang, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Palembang, H. Eftiyani dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang digelar di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, pada Senin (4/3/2019).
Eftiyani merupakan pihak Teradu dalam Perkara Nomor 29-PKE-DKPP/II/2019 yang diadukan oleh Ricky Yudistira. Eftiyani dilaporkan lantaran pernah menjadi saksi salah satu pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilgub Sumatera Selatan (Sumsel), Juli 2018. Ia diduga menjadi penyelenggara pemilu yang memiliki kaitan dengan partai politik.
Kepada majelis sidang, Eftiyani mengaku bahwa dirinya memang ditunjuk oleh salah satu paslon untuk menjadi saksi dalam proses rekapitulasi perhitungan suara Pilgub Sumsel 2018. “Saya ditunjuk jadi saksi, diminta Tim Pasangan Nomor Empat Dodi Reza Alex dan Giri Ramanda Kiemas, tapi saya bukan tim sukses, tidak berafiliasi dengan partai apapun,” jelas Eftiyani.
Eftiyani menambahkan bahwa ia bukan pengurus partai, juga bukan simpatisan partai. “Saya ditunjuk sebagai saksi karena pengalaman saya pernah duduk di KPU,” tambahnya.
Sebelum terpilih menjadi Ketua KPU Kota Palembang periode 2019-2024, Eftiyani memang diketahui pernah menduduki jabatan yang sama pada periode 2009-2014. Ia pun membantah tuduhan yang dilontarkan Pengadu. Menurutnya, proses yang dilaluinya untuk masuk dalam jajaran pimpinan KPU Kota Palembang periode 2019-2024 sesuai dengan prosedur dan juga telah memenuhi syarat yang ditentukan. “Saya juga pernah diklarifikasi langsung oleh Ketua KPU RI, Pak Arief Budiman, sebelum dilantik,” papar Eftiyani.
Hal ini pun diamini oleh Sekretaris KPU Sumsel, MS Sumarwan, yang menjadi pihak terkait dalam sidang ini. Sumarwan yang menjabat sebagai panitia pelantikan Anggota dari 16 KPU Kabupaten/Kota di Sumsel mengaku tahu persis terkait klarifikasi yang dilakukan oleh KPU RI terhadap Eftiyani. “Betul, saat itu 7 Januari 2019, satu jam menjelang pelantikan 16 KPU Kabupaten/Kota Sumsel, Ketua KPU RI melakukan klarifikasi. Sehingga pelantikan ini sempat ditunda untuk menunggu klarifikasi Teradu,” katanya.
Mendengar penjelasan Sumarwan, Ketua Majelis Sidang, Muhammad pun bertanya, atas dasar apa Ketua KPU RI melakukan klarifikasi kepada Teradu? Apakah ia menerima laporan sebelumnya?”. “Saya tidak mengetahui detailnya, Yang Mulia,” jawab Suwarman.
Sumarwan lalu menambahkan bahwa, pendaftaran Anggota KPU Kota Palembang telah dibuka pada awal November 2018. Dalam persidangan ini juga diketahui bahwa keberadaan Elfiyani sebagai saksi salah satu paslon Gubernur dan Wakil Gubernur terjadi pada Juli 2018.
Sementara itu, pengadu Ricky Yudistira mengatakan, dirinya mengetahui teradu Eftiyani menjadi saksi cagub Sumsel dari layar yang disediakan KPU Sumsel saat pleno rekapitulasi berlangsung. Ia mengaku kaget ketika Eftiyani dilantik menjadi Ketua KPU Palembang pada Januari 2019. “Saya punya bukti surat mandat Eftiyani sebagai saksi yang ditandatangani pasangan calon dan tiga partai pengusung, itu disampaikan dalam aduan saya. Saya anggap Eftiyani terlibat dalam partai politik atau politik praktis,” kata mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang ini.
Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang itu berharap majelis DKPP memberikan sanksi sesuai undang-undang jika teradu terbukti melanggar kode etik. Dirinya berharap pemilu di Palembang berlangsung demokratis tanpa ditumpangi pihak-pihak berkepentingan. “Demokrasi yang jujur, bebas, adil, dan demokratis. Itu tujuan saya mengadukan kasus ini ke DKPP,” ujarnya.
Selain Ketua Majelis Muhammad, tiga Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Sumsel turut mendampingi sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik ini, yaitu; Febrian (unsur masyarakat), Junaedi (unsur Bawaslu) dan Amran Muslimin (unsur KPU).
(Saihu – Wildan)