Bandung, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa ketua dan empat anggota KPU Kabupaten Garut dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) perkara nomor 278-PKE-DKPP/XI/2024 di Kantor Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, Rabu (19/2/2025).
Kelima nama yang diperiksa adalah Dian Hasanudin (ketua), Dedi Rosadi, Yusuf Abdullah, Asyim Burhani, Rikeu Rahayu. Mereka diadukan oleh seorang bernama Firmansyah.
Firmansyah mendalilkan para teradu telah memanipulasi berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tingkat Kabupaten Garut pada Model D.Hasil KABKO-DPR Kabupaten Garut.
Menurutnya, ada perbedaan antara hasil perolehan suara Caleg DPR RI tingkat kecamatan yang dibacakan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Pameungpeuk saat pleno di tingkat kecamatan dengan pleno di tingkat kabupaten. Saat dibacakan di tingkat kabupaten, terdapat selisih 32 suara dengan hasil perolehan suara yang dibacakan di pleno tingkat kecamatan.
“Ada 32 suara tidak sah pada pleno tingkat Kecamatan yang menjadi suara sah pada saat pleno tingkat kabupaten. Hal ini tidak hanya terjadi di Kecamatan Pameungpeuk, melainkan juga terjadi di Kecamatan Cilawu,” paparnya.
Firmansyah menambahkan, perbedaan yang menuai protes dari beberapa saksi partai politik ini tidak diindahkan oleh para teradu. Para teradu, lanjutnya, justru tetap membawa perolehan suara yang diduga salah tersebut ke pleno tingkat provinsi.
“Terjadi interupsi dan perdebatan panjang karena hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat kecamatan berbeda dengan yang dibacakan para teradu di pleno tingkat provinsi. Terdeteksi ada empat kecamatan yang mengalami perubahan suara,” ungkap Firmansyah.
Dalil-dalil di atas pun dibantah oleh para teradu. Ketua KPU Kabupaten Garut, Dian Hasanudin, menyebut bahwa pihaknya hanya membacakan rekapitulasi penghitungan suara yang ditetapkan oleh PPK saat pleno di tingkat kabupaten.
Dian menegaskan bahwa pihaknya tidak tahu menahu adanya perbedaan suara tersebut karena rekapitulasi penghitungan suara tingkat kecamatan telah ditetapkan oleh PPK dari setiap kecamatan.
“Hasil penghitungan suara tingkat kecamatan bukan ditetapkan, dipimpin, dan ditandatangani oleh teradu, melainkan oleh PPK. Tidak benar jika teradu dianggap mengetahui dan melakukan perubahan suara,” katanya.
Dian menambahkan, terdapat opsi keberatan yang diajukan oleh saksi jika memang terdapat perbedaan suara. Jika memang perbedaan suara tersebut dianggap tidak dapat diselesaikan di tingkat kecamatan, maka hal itu dapat dilanjutkan dalam rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara di tingkat kabupaten.
Menurutnya, adanya perbedaan suara pada empat kecamatan baru diketahui setelah rapat pleno di tingkat kabupaten selesai. Selama rapat pleno tingkat kabupaten berlangsung, Dian mengatakan tidak ada satu pun keberatan dari saksi peserta Pemilu tentang perbedaan suara di empat kecamatan.
“Teradu hanya mengetahui adanya kesalahan dalam penjumlahan (suara) saja dan tidak mengetahui ada perbedaan dalam setiap rincian raihan suara setiap calon. Tidak ada keberatan dari saksi peserta pemilu ataupun pengajuan formulir kejadian khusus terkait hal ini,” jelas Dian.
Sidang ini dipimpin oleh Ketua Majelis Heddy Lugito. Ia didampingi oleh tiga Anggota Majelis dari Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Jawa Barat, yaitu Hedi Ardia (unsur KPU), Nuryamah (unsur Bawaslu), dan Nina Yuningsih (unsur Masyarakat). [Humas DKPP]