Pekanbaru, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) untuk perkara Nomor 286-PKE-DKPP/XI/2024 di Kantor KPU Provinsi Riau, Kota Pekanbaru, Kamis (15/5/2025).
Pengadu perkara ini, Firdaus, mengadukan delapan penyelenggara Pemilu Kabupaten Kuantan Singingi. Tiga di antaranya adalah Ketua Bawaslu Kabupaten Kuantan Singingi, Mardius Adi Saputra, beserta dua anggotanya, yaitu Ade Indra Sakti dan Nur Afni (masing-masing berstatus sebagai teradu I hingga III).
Sedangkan lima lainnya adalah penyelenggara Pemilu tingkat ad hoc di Kabupaten Kuantan Singingi, yaitu Yudi Hendra (Ketua Panwascam Kuantan Mudik), Rain Novri Maryam (Anggota Panwascam Kuantan Mudik), Abdi Muslihan (Anggota Panwascam Kuantan Mudik), Ulil Amri (Anggota Panwascam Gunung Toar), dan Mawardi Irawan (Anggota PPK Pucuk Rantan). Lima nama tersebut secara berurutan berstatus sebagai teradu IV sampai teradu VIII.
Teradu IV sampai teradu VIII absen dalam sidang meskipun sudah diundang secara patut oleh DKPP. Berdasarkan informasi yang disampaikan Sekretariat DKPP dalam sidang ini, kelima orang tersebut memilih absen karena sudah tidak lagi menduduki penyelenggara pemilu tingkat ad hoc lantaran tahapan Pilkada 2024 sudah selesai.
Firdaus mendalilkan dua dugaan pelanggaran KEPP untuk para teradu. Pertama, ia menyebut Ketua dan dua Anggota Bawaslu Kabupaten Kuantan Singingi bertindak tidak profesional dalam menindaklanjuti laporan terkait dugaan penggunaan fasilitas negara (rapat pemerintah daerah) oleh Bupati Kuantan Singingi untuk mengenalkan bakal calon wakil bupati.
Menurut Firdaus, laporan tersebut tidak diterima oleh Bawaslu Kabupaten Kuantan Singingi setelah mendengarkan keterangan dari seorang akademisi dari Universitas Riau yang menjadi saksi ahli.
“Setelah ditelusuri, diperoleh informasi bahwa saksi ahli tersebut merupakan saudara kandung dari teradu II, Ade Indra Sakti. Sehingga patut diduga keputusan untuk tidak menerima laporan tersebut akibat adanya keberpihakan teradu I, teradu II, dan teradu III terhadap calon bupati tersebut dan juga adanya konflik kepentingan antara teradu II dengan saksi ahli,” ungkap Firdaus.
Laporan yang dimaksud Firdaus merupakan laporan yang disampaikan oleh Nerdi Wantomes. Dalam laporannya, Nerdi melaporkan dugaan pelanggaran oleh Bupati Kuantan Singingi, Suhardiman Amby, yang mengenalkan calon wakil bupati untuk Pilkada 2024 dalam sebuah acara resmi Pemkab Kuantan Singingi pada 19 Agustus 2024.
Sedangkan pada dalil kedua, Firdaus menyebut teradu I, Mardius Adi Saputra bersama para teradu yang menjadi penyelenggara tingkat ad hoc telah menerima uang dari salah satu calon legislatif (Caleg) DPRD Kabupaten Kuantan Singingi untuk keperluan pengumpulan suara dalam Pemilu 2024.
Menurut Firdaus, dugaan praktik politik uang ini mencapai Rp300 juta dan diduga juga sebagian uang tersebut diterima oleh Ade Indra Sakti (teradu II) dan Nur Afni (teradu III).
“Jika aduan ini terbukti, saya minta kepada penyelenggara, baik KPU atau Bawaslu, jangan sekali-kali menjanjikan atau memberi harapan kepada peserta pemilu. Begitu juga kepada peserta pemilu, jangan memberikan sesuatu kepada penyelenggara pemilu,” ucapnya.
Bantah Konflik Kepentingan
Mardius Adi Saputra (teradu I) membantah tudingan yang menyebut Bawaslu Kabupaten Kuantan Singingi tidak menerima laporan terkait dugaan pelanggaran sebagaimana disebutkan oleh Firdaus.
Menurut Mardius, pihaknya telah menindaklanjuti laporan tersebut sampai dengan mendengarkan keterangan dari berbagai pihak, mulai dari pelapor, terlapor, hingga saksi dan saksi ahli.
“Berdasar keterangan para pihak dan mencermati alat bukti, kami memutuskan dalam rapat pleno bahwa laporan tersebut tidak memenuhi unsur pelanggaran,” katanya.
Dalam pemeriksaan saksi ahli, Mardius mengakui bahwa pihaknya memang mendengarkan keterangan dari akademisi dari Universitas Riau bernama Maxsasai Indra yang juga diakuinya saudara kandung dari Ade Indra Sakti (teradu II). Namun, hal ini bukanlah sebuah persekongkolan karena murni keputusan dari Universitas Riau.
Ia mengungkapkan, Bawaslu Kuantan Singingi dan Fakultas HUkum Universitas Riau telah melakukan perjanjian kerja sama tentang pengembangan pengawasan Pemilu dan Pilkada 2024.
“Sama sekali tidak ada tersurat dari kami bertiga untuk mengkondisikan saksi ahli. Tidak ada satu pun kepentingan pribadi dalam menanganai laporan ini,” jelas Mardius.
Hal ini juga diamini oleh Ade Indra Sakti. Menurutnya, Bawaslu Kabupaten Kuantan Singingi telah menangani laporan Nerdi Wantomes sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ia menambahkan, permintaan saksi ahli dilakukan kepada Universitas Riau karena berdasar kajian dari hasil pemeriksaan terhadap beberapa pihak, masih dibutuhkan keterangan dari ahli yang kompeten untuk menjelaskan tentang pasal-pasal yang disangkakan dalam laporan tersebut.
“Kami merasa masih perlu mendengar keterangan ahli yang qualified terhadap penerjemahan dari pasal yang disangkakan,” jelas Ade.
Politik Uang
Terkait dalil politik uang, Mardius juga membantah telah menerimma uang dari peserta pemilu untuk keperluan pengumpulan suara di tengah tahapan Pemilu 2024.
Kendati demikian, ia mengakui sempat berkoordinasi dengan salah seorang caleg DPRD Kabupaten Kuantan Singingi yang bernama Karyono. Menurutnya, selama koordinasi tersebut banyak permintaan yang disampaikan Karyono kepadanya.
Hal itu, disebut Mardius membuatnya mengakhiri koordinasi.Karyono sendiri hadir dalam sidang ini sebagai saksi.
“Di ujung jalan saya tidak menyanggupi lagi karena terlalu banyak permintaan beliau (Karyono, red.). Sampai beliau meminta dicarikan saksi untuk partai ke saya, tentu saya enggak sanggup. Akhirnya saya ganti nomor,” ucapnya.
Bantahan juga disampaikan oleh Ade Indra Sakti (teradu II) dan Nur Afni (teradu III). Keduanya menegaskan, tidak menerima sepeser rupiah pun dari Karyono melalui Mardius.
Keduanya bahkan mengaku tidak mengetahui koordinasi atau komunikasi yang dijalin oleh Mardius dan Karyono.
“Saya tidak pernah menerima atau diberi uang oleh teradu I. Saya juga tidak mengetahui adanya koordinasi yang dilakukan Saudara Karyono dan teradu I,” ungkap Nur Afni.
Sidang ini dipimpin J. Kristiadi (Ketua Majelis) dengan tiga Anggota Majelis dari Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Riau, yaitu Gema Wahyu Adinata (unsur masyarakat), Patminah Nularna (unsur Bawaslu), dan Nugroho Noto Susanto (unsur KPU). [Humas DKPP]