Jakarta, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa Anggota KIP Kabupaten Aceh Tenggara, Prasetya Andhika Syah Putra dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) untuk perkara nomor 59-PKE-DKPP/VI/2020 pada Senin (29/6/2020), pukul 10.00 WIB.
Berstatus sebagai Teradu, Prasetya diadukan oleh seorang bernama Usman karena diduga melakukan pemalsuan umur saat mendaftar sebagai Anggota KIP Kabupaten Aceh Tenggara 2018 silam.
Prasetya yang dinyatakan lolos seleksi pada 18 Desember 2018 dan dilantik sebagai Anggota KIP Kabupaten Aceh Tenggara pada 18 Februari 2019 disebut Usman telah mengubah umurnya menjadi 30 tahun agar dapat memenuhi syarat seleksi pendaftaran Anggota KIP Kabupaten Aceh Tenggara periode 2019-2024.
Menurut Usman, terdapat perbedaan antara dokumen yang diserahkan oleh Prasetya saat mendaftar dengan sejumlah dokumen yang dimilikinya. Dalam dokumen yang diserahkan Prasetya saat pendaftaran Anggota KIP Kabupaten Aceh Tengara, tanggal lahirnya adalah 22 Maret 1988.
Namun, lanjut Usman, NIK dalam KTP milik Prasetya justru menunjukkan tahun lahir 1991.
“Kemudian alat bukti lainnya Ijazah Universitas Gunung Leuser a.n. Prasetya Andhika Syah Putra berbeda dengan daftar nama-nama peserta wisuda pada tanggal 28 Desember 2013 tercantum tanggal lahir 22 Agustus 1991,” jelas Usman.
Dalam sidang ini, Usman pun melampirkan sejumlah dokumen sebagai alat bukti yang menunjukkan dugaan pemalsuan umur yang dilakukan oleh Prasetya.
Dalam sidang, dalil yang diucapkan Usman dibantah oleh Prasetya. Ia mengungkapkan bahwa perkara ini sebelumnya telah dibahas dengan Panitia Seleksi (Pansel) Anggota KIP Kabupaten Aceh Tenggara periode 2019-2024 dan Komisi A DPR Kabupaten Aceh Tenggara saat proses seleksi.
Meskipun demikian, Prasetya mengaku bahwa NIK miliknya yang tercantum dalam KTP elektronik memang seperti yang disebutkan oleh Pengadu.
“Saya tidak mengetahui hal tersebut, terbitnya KTP elektronik yang disertai dengan NIK itu di luar kewenangan saya,” katanya.
Prasetya pun menunjukkan KTP miliknya kepada majelis dalam sidang yang diadakan secara virtual ini. KTP tersebut tampak diterbitkan pada tahun 2018.
Hal senada pun dikatakan Prasetya tentang ijazah sekolah yang dilampirkan oleh Usman sebagai alat bukti. Kepada majelis, ia mengatakan bahwa dirinya bukan pihak yang memproduksi ijazah tersebut.
“Saya tidak mengetahui bagaimana copy ijazah saya bisa dimiliki oleh Pengadu dengan data yang berbeda,” ungkap Prasetya.
Ia pun melampirkan sejumlah dokumen sebagai alat bukti dalam sidang ini, mulai dari akta kelahiran, ijazah SMK dan kuliah, serta buku nikah.
Prasetya melanjutkan, dirinya memang lulus dari SMP pada 2006 (18 tahun) dan lulus SMK pada 2009 (21 tahun). Menutnya, dirinya memang terlambat masuk sekolah karena mengidap penyakit cerebral palsy sewaktu kecil.
“Saya masuk SD pada 1997, umur 9 tahun,” ucapnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak dapat melampirkan ijazah SD dan SMP karena rumah orang tuanya terbakar pada saat ia duduk di bangku SMK.
Sidang ini sendiri berlangsung secara virtual dengan Ketua majelis di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, dan semua pihak berada di daerahnya masing-masing.
Ketua majelis sidang ini adalah Anggota DKPP, Mochammad Afifuddin. Ia didampingi oleh Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Aceh sebagai Anggota majelis, yaitu Muklir (unsur Masyarakat), Muhammad (unsur KIP), dan Faizah (unsur Panwaslih). [Humas DKPP]