Jakarta, DKPP – Upaya memperkuat kelembagaan penyelenggara pemilu menjadi sorotan dalam forum diskusi media dengan tema “Mengulik Konsep Penguatan Lembaga Penyelenggara Pemilu di RUU Pemilu” di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi ini, mengatakan bahwa penguatan kelembagaan adalah sebuah kebutuhan bagi DKPP.
Ia mengungkapkan, Sekretariat DKPP saat ini masih dipimpin oleh pejabat eselon II, belum mandiri sepenuhnya. Hal itu dikarenakan sekretariat lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu ini masih bernaung di bawah Kementerian Dalam Negeri.
“Ini berimplikasi pada independensi pengelolaan kepegawaian dan penganggaran,” kata pria yang biasa disapa Raka Sandi ini.
Raka Sandi merujuk pada Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebut bahwa lembaga penyelenggara pemilu bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Menurutnya, dari ketiga lembaga penyelenggara pemilu yang ada di Indonesia hanya DKPP yang belum memiliki sekretariat yang mandiri.
Padahal, KPU, Bawaslu, dan DKPP, sifatnya setara dan memiliki satu kesatuan fungsi sebagai lembaga penyelenggara pemilu.
“Makna kesetaraan kelembagaan ini fundamental karena ini amanat konstitusi, sehingga publik dapat menilai ketiga penyelenggara pemilu memiliki nafas yang sama,” Raka Sandi menambahkan.
Saat ini, jumlah pegawai DKPP yang belum memenuhi angka ideal. Hal itu menyebabkan jumlah aduan yang masuk dan perkara yang ditangani tidak berbanding lurus dengan jumlah personel yang dimiliki DKPP.
Akibat masifnya jumlah aduan yang terjadi selama tahun pemilu, membuat banyak perkara menumpuk dan tidak dapat ditangani segera.
Selama 2024-2025, per 11 Agustus 2025, DKPP telah menerima 974 aduan. Dari jumlah tersebut, 413 di antaranya telah memenuhi syarat untuk dilimpahkan sebagai perkara yang diperiksa dalam sidang.
Raka Sandi pun mengusulkan agar DKPP memiliki perwakilan di tingkat wilayah agar proses penanganan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dapat lebih efisien.
“Beban pengaduan dan perkara meningkat drastis seiring tahapan penyelenggaraan pemilu, sehingga kita butuh kantor perwakilan wilayah, demi kepentingan masyarakat agar lebih mudah karena kita memiliki konsep asas sidang cepat,” jelasnya.
Untuk diketahui, diskusi ini diadakan oleh Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPPD) dengan DKPP. Selain Raka Sandi, narasumber lain dalam diskusi ini adalah J. Kristiadi (Anggota DKPP), Rahmat Bagja (Ketua Bawaslu), Iffa Rosita (Anggota KPU), Yusak Farchan (Citra Institute), dan Mardani Ali Sera (Anggota Komisi II DPR).
Sementara, J. Kristiadi menyoroti bahwa penguatan kelembagaan kepemiluan tidak bisa dilepaskan dari penguatan demokrasi. Ia mengingatkan bahwa pemilu adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat.
“Penguatan demokrasi adalah kedaulatan rakyat, yang diwujudkan melalui suara rakyat di pemilu. Suara itu bukan sekadar nyoblos, tapi sesuatu yang sakral karena di dalamnya ada kehendak dan keinginan masyarakat,” ungkap pria yang karib disapa Kris ini.
Menurut Kris, sistem kepemiluan Indonesia kini sudah berada di jalur yang baik. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa hal ini masih memerlukan pengawalan serius.
Salah satu perkembangan positif dalam pemilu adalah meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menyelesaikan problematika kepemiluan melalui koridor yang telah ditentukan.
“Rakyat bisa saja menyelesaikan masalah dengan saling bakar, tapi mereka lebih memilih untuk melaporkan ke DKPP atau Bawaslu,” terangnya.
Ia berharap media dan jurnalis lebih fokus menyoroti isu-isu yang mendesak, bukan hanya penyelenggara tetapi juga peserta pemilu.
Momentum Putusan MK
Dalam diskusi yang sama, Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja menyebut bahwa jajarannya kerap menemui kendala-kendala dalam melaksanakan tugas pengawasan, khususnya dalam tahapan Pilkada.
Salah satu kendala tersebut adalah berkaitan jumlah anggaran dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD). Sebagaimana diketahui, salah satu sumber anggaran Bawaslu di daerah untuk tahapan Pilkada adalah NPHD yang berasal dari APBD.
“Kebanyakan tidak suka diawasi, apalagi kalau Bupati. Seringkali jika Bawaslu memanggil Bupati untuk dimintai keterangan akan berpengaruh terhadap NPHD. Oleh karena itu, kami usulkan anggaran Pilkada sebaiknya dikembalikan ke APBN bukan lagi dari APBD,” ungkapnya.
Di sisi lain, Anggota KPU, Iffa Rosita menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dengan pemilu daerah sebagai momentum untuk meningkatkan pemahaman penyelenggara pemilu terhadap regulasi dan hal-hal teknis kepemiluan.
“Pada Pemilu 2024, tahapan masih berjalan sementara kami juga harus menjalankan tahapan pilkada. Teman-teman (jajaran KPU) dituntut untuk bisa fokus. Jadi seakan-akan hanya untuk menggugurkan kewajiban ya, tapi saya sangat yakin bahwa teman-teman di daerah bekerja sangat serius,” ujarnya.
Ia berpendapat, Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 jika diterapkan dalam Undang-Undang Pemilu yang akan datang, akan memberikan ruang untuk meningkatkan pemahaman penyelenggara pemilu terhadap regulasi dan hal-hal teknis kepemiluan.
“Apapun hasil dari RUU Pemilu akan kami laksanakan. Tapi sebaiknya (pembahasan RUU Pemilu dilaksanakan) sesegera mungkin agar KPU bisa membuat dan mengeluarkan PKPU serta aturan teknis turunannya,” ucap Iffa.
Hal senada juga diungkapkan oleh pegiat pemilu dari Citra Institute, Yusak Farchan. Menurutnya, bagaimana pun kondisi dan dinamika politik yang terjadi, tidak dapat menjadi alasan untuk tidak memperkuat penyelenggara pemilu.
“KPU, Bawaslu, dan DKPP harus diperkuat,” katanya.
Yusak juga berpendapat bahwa Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 laksana ujian bagi demokrasi Indonesia yang tengah tumbuh. Ia cenderung menyepakati putusan tersebut.
“Intinya kita sudah berada di jalur yang benar. Kalau saya boleh bahasakan, putusan MK 135 menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia,” terang Yusak.
Sementara Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera mengatakan bahwa pembahasan RUU Pemilu harus segera dilaksanakan karena ini berkaitan dengan kedaulatan rakyat.
Ia mengajak semua pihak untuk memberikan saran dan masukan terhadap isi RUU Pemilu agar Pemilu 2029 dapat berjalan lebih baik.
“Putusan MK 135 sudah ada, ayuk kasih masukan, segera RUU Pemilu” tegasnya. [Humas DKPP]