Jakarta, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kembali memeriksa Ketua dan Anggota KPU RI atas dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dalam perkara nomor 106-PKE-DKPP/VIII/2023.
Perkara ini diadukan oleh Ketua dan Anggota Bawaslu RI dengan pokok aduan terkait pembatasan akses data dan dokumen pada Sistem Informasi Pencalonan (Silon) serta pembatasan jumlah personel dan durasi pengawasan.
“Ini bukan soal komunikasi maupun personal, karena persoalan tersebut bisa kita selesaikan dengan ngopi bareng. Tetapi masalah lembaga diselesaikan secara normal yaitu melalui DKPP ini,” kata Pengadu II Totok Hariyono di Ruang Sidang DKPP Jakarta, pada Rabu (13/9/2023).
Pembatasan akses Silon dan pembatasan personel dan durasi pengawasan, ditegaskan Totok, bukan pelanggaran administrasi melainkan persoalan etika. Oleh karena itu, pihaknya memutuskan untuk mengadukan ke DKPP.
Akibat pembatasan tersebut, Pengadu mengungkapkan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, Bawaslu dicap ‘tukang’ meminta dan mencari data. Lebih dari itu, Bawaslu disebut dengan pembuat rusuh.
Mantan Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur ini menegaskan pihaknya bisa melakukan tugas pengawasan lebih jauh jika diberikan akses Silon, terutama dalam pencegahan, seperti tercantum dalam Pasal 520 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Misalkan soal syarat calon, melalui KTP apakah benar usianya sudah memenuhi, kalau terkait pidana, kepailitan, dan lainnya apakah benar sudah memenuhi syarat, sehingga kita bisa melakukan pencegahan secara patut,” tegasnya.
Meski diberikan akses Silon, namun hanya sebatas nomor urut, foto calon, daerah pemilihan, dan surat keterangan tidak berstatus narapidana. Bagi Pengadu data tersebut dikategorikan mentah dan tidak cukup untuk melakukan pengawasan.
“Itu data mentah, kita juga butuh akses syarat-syarat calon lainnya sehingga bisa maksimal melakukan pengawasan dan pencegahan,” pungkasnya.
Pengadu I Rahmat Bagja mempersoalkan waktu terhadap akses Silon dibatasi oleh Pengadu hanya 15 menit. Kemudian dipersulit dengan syarat-syarat lainnya seperti identitas pengawas, surat tugas, dan lainnya.
“Hanya 15 menit bisa apa, sementara alat rekam dan foto tidak perbolehkan, hanya alat tulis sementara kami tidak punya memori ingatan yang besar. Sehingga bagaimana kami mau mengawasi,” tegasnya.
Jawaban Teradu
Teradu II Mochammad Afifuddin menegaskan telah memberikan akses Silon kepada para Teradu. Namun tidak semua data yang diminta Pengadu diberikan karena terbentur dengan peraturan perundang-undangan.
“Jadi yang bisa dibuka Pengadu itu hanya data-data umum saja. Data rahasia, misalnya terkait data pribadi atau hal yang belum bisa kita ungkap harus ada aturan yang bisa membukanya,” ungkap Afifuddin.
Afifuddin juga mengaku mengetahui Pengadu melayangkan surat permintaan akses terhadap Silon sebanyak empat kali. Dalam sidang pemeriksaan, pihaknya mengakui hanya membalas satu surat-surat tersebut.
Memperkuat jawaban Teradu II, Idham Holik selaku Teradu VI menegaskan jika para Pengadu bukan verifikator administrasi pencalonan. Selain itu, Bawaslu memiliki mekanisme pengawasan partisipatif yang akan membuka akses Silon selama 24 jam jika ada laporan pelanggaran.
“Tidak ada peraturan yang kami langar dalam hal ini. Semua peraturan telah kami laksanakan dalam penyelenggaran Pemilu ini,” tegas Idham.
Dalam penyelenggaraan Pemilu, ditegaskan Yulianto Sudrajat (Teradu V), pihaknya berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Tetapi dibatasi juga oleh undang-undang lainnya, seperti Perlindungan Data Pribadi dan Kertebukaan Informasi Publik.
“Kalau masalah terkait akses Silon, seharusnya persoalan ini masuk dalam sengketa di Komisi Informasi Pusat,” tegas Yulianto.
Sebagai informasi, sidang pemeriksaan pertama digelar pada Senin (4/9/2023). Pada sidang kedua ini dipimpin oleh Ratna Dewi Pettalolo sebagai Ketua Majelis, didampingi I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dan Muhammad Tio Aliansyah masing-masing sebagai Anggota Majelis. [Humas DKPP]