Palangkaraya, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk kedua kalinya memeriksa Ketua KPU Kabupaten Barito Utara, Malik Muliawan dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu di Kantor Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Kota Palangkaraya, Selasa (16/7/2019). Malik merupakan Teradu dalam perkara Nomor 112-PKE-DKPP/V/2019.
Sebelumnya, sidang pertama sudah dilaksanakan pada tanggal 21 Juni 2019 melalui video conference yang menghubungkan Ketua majelis di Jakarta dengan Pengadu dan Teradu di Palangkaraya. Perkara ini diadukan oleh Anggota DPRD Kabupaten Barito Utara, Denny Hermanto Sumarna.
Dalam pokok aduannya, Denny menduga bahwa Malik telah berbuat sewenang-wenang dalam mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 43/HK.03.1-Kpt/6205/KPU-kab/IV/2019. SK yang menjadi dasar hukum dari Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS 37 Pangkuh Raya Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara pada 24 April 2019. Surat ini diduga Denny cacat hukum dan rekayasa belaka.
Menurut Denny, melalui putusan tersebut, Teradu telah merekayasa PSU sehingga memberikan keuntungan yang signifikan terhadap salah satu calon peserta Pemilu anggota DPRD Kabupaten Barito Utara Daerah Pemilihan Barito Utara I dari PDI Perjuangan.
Dalil tersebut telah dibantah oleh Malik pada sidang pertama. Saat itu, ia menerangkan bahwa KPU Kabupaten Barito Utara melakukan kajian dugaan pelanggaran penyelenggaraan Pemilu di TPS 37 Pangkuhraya, Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah, berdasarkan temuan Panwaslu Kecamatan Teweh Tengah dan keterangan serta penjelasan dari PPK, PPS dan KPPS dan dengan merujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Sejumlah ketentuan yang ia sebut antara lain adalah Pasal 18 huruf l, Pasal 372 ayat (2) serta Pasal 373 ayat (1), (2) dan (3) UU Pemilu.
“Penetapan Pemungutan Suara Ulang di TPS 37 Pangkuhraya Kelurahan Melayu Kecamatan Teweh Tengah, secara tanggung jawab kelembagaan KPU Kabupaten Barito Utara telah melaporkan ke KPU Provinsi Kalimantan Tengah yang juga diteruskan kepada KPU RI di Jakarta,” kata Malik saat sidang pertama.
Surat tersebut, jelas Malik, berawal dari temuan Panwascam Teweh Tengah yang menemukan 24 warga yang pindah memilih. Kemudian, saat Rakor KPU Kabupaten Barut dengan PPK Teweh Tengah, PPS Kelurahan Melayu, Kec. Teweh Tengah, dan KPPS TPS 37 Pangkuhraya pada 20 April 2019 ada temuan 3 orang yang melakukan pindah memilih, tidak mengantongi form A5 dan KTP-el penduduk Kec. Gunung Purei Kab. Barut, Dapil Barut II.
Berdasarkan kajian KPU Barut, 24 orang yang melakukan pindah memilih tersebut tidak mengantongi form A5, dan dibolehkan Ketua KPPS TPS 37 untuk melakukan pencoblosan dengan diberikan masing-masing 1 Surat Suara Presiden dan Wakil Presiden.
Sidang kedua ini diselenggarakan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan pihak terkait. Dalam sidang ini, baik Pengadu maupun Teradu sama-sama menghadirkan saksi. Sedangkan pihak terkait dalam sidang ini adalah Anggota KPU Kabupaten Barito Utara serta Ketua dan Anggota Bawaslu Kabupaten Barito Utara.
Salah seorang saksi yang merupakan Anggota KPPS TPS 37 Pangkuhraya, Gense Rama mengungkapkan hal yang menguatkan bantahan dari Teradu. “Bahwa ada 24 orang yang diperbolehkan memilih di TPS 37 meskipun tidak menggunakan A5 karena mereka menyatakan sudah mengurus di KPU Kabupaten Barito Utara tetapi A5 belum diterima, mereka diberikan surat suara Pilpres,” jelasnya.
Maejelis yang memimpin sidang ini terdiri dari Anggota DKPP, Dr. Alfitra Salam selaku Ketua majelis, dengan Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Kalteng selaku Anggota majelis, yaitu Zainap Hartati, Sapta Tjipta, dan Siti Wahidah. [nurkhotimah/wildan]