Jakarta,
DKPP- Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu bersifat final dan mengikat. Dengan ketentuan tersebut, seharusnya tidak
ada upaya hukum lagi untuk menggugatnya. Namun nyatanya tidak seperti itu. Di
beberapa tempat, putusan DKPP dijadikan objek perkara melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN).
Atas gugatan tersebut DKPP
menginisiasi pertemuan dengan Mahkamah Agung (MA). Rapat
konsultasi
diadakan di Gedung MA, Jakarta, Rabu (4/2/2015). Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie
didampingi oleh enam Anggota, yakni Nur Hidayat Sardini, Saut Hamonangan
Sirait, Valina Singka Subekti, Anna Erliyana, Ida Budhiati, dan Endang
Wihdatiningtyas. Selain itu, hadir juga Sekretaris Jenderal Bawaslu/DKPP
Gunawan Suswantoro dan Kepala Biro DKPP Ahmad Khumaidi.
Semua pimpinan MA juga hadir
dalam pertemuan tersebut, yakni M Hatta Ali (Ketua), M Saleh, Suwardi, Abdul
Manan, Imron Anwari, Takdir Rahmadi, Djafni Djamal, Imam Soebechi. Timur P
Manurung, dan Artidjo Alkostar.
Dalam paparannya, Ketua DKPP
Jimly Asshiddiqie menyebutkan, gugatan ke PTUN meningkat tajam sejak terbit
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-XI/2013. MK menyatakan, putusan
DKPP final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota,
dan Bawaslu. Akan tetapi tindak lanjut dari putusan DKPP berupa keputusan
Presiden, KPU, dan Bawaslu tidak final dan mengikat, sehingga dapat menjadi objek
perkara di TUN.
“Sesuai yang telah didata DKPP,
dari tahun 2012 sampai 2014 ada 18 putusan DKPP yang digugat ke PTUN. Delapan
dikabulkan, lima ditolak, dan lima lagi masih proses. Sebagian besar gugatan
itu muncul setelah putusan MK, sebanyak 14 gugatan,†terang Jimly.
Secara sebaran, 18 gugatan
berasal dari sembilan provinsi. Sumatera Utara yang terbanyak, ada empat
gugatan. Disusul oleh Papua dan Gorontalo masing-masing tiga gugatan, Sumatera
Barat dan Kepulauan Riau dua gugatan, serta Jawa Timur, Aceh, Sumatera Selatan,
dan Sulawesi Selatan masing-masing satu gugatan.
Banyaknya gugatan yang
dikabulkan menjadi masalah, khususnya bagi KPU dan Bawaslu. Di satu sisi mereka
harus menaati putusan pengadilan dan di sisi lain juga wajib menindaklanjuti
putusan DKPP.
“Ini jadi masalah, apakah
menuruti TUN atau menuruti DKPP. Sistem PAW (pergantian antar waktu)
mengatakan, kalau ada yang diberhentikan harus langsung diganti. Menurut kode
etik, KPU harus menjalankan putusan DKPP. Kalau tidak ancamannya pecat. Ini
masalahnya, maju kena mundur kena,†ungkap Jimly.
Ketua MA M Hatta Ali mengaku
memahami persoalan yang disampaikan oleh DKPP. Pengadilan, ujar Hatta, memiliki
asas di mana hakim memang tidak boleh menolak perkara. Termasuk di sini adalah
ketika ada orang yang menggugat hasil putusan DKPP. Dengan dasar itu, Hatta
meminta agar jangan ada kesan pengadilan menerima gugatan begitu saja. Hatta
juga menginformasikan, gugatan yang sudah sampai kasasi baru ada satu dari
Lumajang, Jawa Timur. Putusan MA menolak gugatan tersebut.
“Jadi MA ini tidak dapat
menolak perkara meskipun putusan DKPP final dan mengikat. Kalau kami menolak,
kami melanggar hukum. Penolakan dapat kami lakukan melalui putusan,†jelas
Hatta Ali. [as]