Jakarta, DKPP- Gagasan tentang dibentuknya sebuah pengadilan kode etik mulai hangat dibicarakan. Pada Selasa (18/6), bertempat di Ruang Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jl MH Thamrin No 14, Jakarta, beberapa perwakilan dari lembaga kode etik di lembaga negara dan lembaga profesi yang difasilitasi oleh DKPP berkumpul mendiskusikan gagasan tersebut.
Di antara perwakilan yang hadir adalah dari Komisi Yudisial (KY), Kejaksaan Agung, Kemenlu, MPRRI, TNI AU, TNI AD, TNI AL, Polri, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), PGRI, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Majelis Kehormatan Notaris Indonesia (MKNI), dan dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara (STIA LAN).
“Pertemuan kali ini untuk tukar pendapat terkait pembentukan Pengadilan Kode Etik,” ujar Ketua DKPP Prof Jimly dalam pengatar diskusi. Ikut mendampingi Prof Jimly dua anggota DKPP, yakni Nur Hidayat Sardini dan Saut Hamonangan Sirait.
Sebelumnya, Prof Jimly sudah memperkenalkan gagasan tersebut kepada Presiden Susilo Yudhoyono, mantan Ketua MPR RI (Alm.) Taufiq Kiemas, serta sudah ada pembicaraan dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB).
“Kami saat bertemu Presiden menyampaikan gagasan dibentuknya sebuah lembaga pengadilan etik. Pengadilan etik sifatnya terbuka, dan semua prosesnya bisa disaksikan oleh publik. DKPP selama setahun berdiri sudah mempraktikkan sistem peradilan terbuka tersebut. Dan kami mengusulkan kepada Presiden bagaimana kalau DKPP dijadikan model pengadilan etik. Respons Presiden sangat bagus,” ujar Prof Jimly.
Jalannya diskusi sendiri terlihat sangat kondusif. Masing-masing perwakilan, baik dari lembaga negara maupun lembaga profesi secara bergantian memaparkan kondisi penegakan kode etik di lembaganya.
Dedy S Bratakusumah, perwakilan dari Kemen PAN-RB, menerangkan bahwa gagasan yang didiskusikan sejalan dengan yang dikerjakan lembaganya. Kemen PAN-RB saat ini sedang membahas RUU tentang Etika Penyelenggara Negara.
“RUU Etika Penyelenggara Negara sedang dibuat. Tahun ini seharusnya sudah masuk tahap harmonisasi,” kata Dedy.
Persoalan pengadilan kode etik, menurut Dedy, akan rumit dan banyak tantangannya. Pasalnya, banyak lembaga kode etik di lembaga-lembaga profesi punya kekhasan tersendiri, sehingga sanksi yang diberikan juga berbeda-beda.
“Dalam RUU tersebut, soal sanksi diserahkan ke lembaga masing-masing. Tidak mungkin membuat sanksi yang sama,” tambah Dedy.
Hampir semua perwakilan setuju bahwa selama ini masalah kode etik masih dipahami sebagai urusan internal lembaga. Bahkan, menurut Wardiman Djojonegoro yang hadir mewakili PGRI, lembaga kode etik yang ada di profesi guru justru digunakan untuk melindungi guru.
“Padahal seharusnya kode etik dibuat sebagai rambu-rambu agar guru tidak melanggar aturan. Jadi sifatnya mendidik, bukan malah digunakan untuk melindungi guru dari kesalahannya,” terang pakar pendidikan yang juga pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru itu.
Pada akhir diskusi, Prof Jimly berpesan kepada perwakilan Kemen PAN-RB agar RUU Etika Penyelenggara Negara lebih baik tidak usah dikirim terlebih dahulu ke Kementerian Hukum dan HAM. Masalahnya, banyak ide-ide penting seperti terungkap dalam diskusi, yang bisa dijadikan masukan.
“RUU ini kalau awalnya tidak masuk prioritas, kali ini harus kita prioritaskan untuk disahkan menjadi undang-undang,” kata Prof Jimly. (AS)