Jakarta,
DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) menggelar sidang putusan untuk perkara nomor 36/DKPP-PKE-VI/2017,
Rabu (10/5). Teradunya adalah ketua dan anggota Panwas Kota Gorontalo atas nama
John Hendri Purba, Lismawy Ibrahim, dan Taufiqurrahman Sulaiman. Mereka
diadukan oleh Fance Abbas karena membuat dan menyebar kuesioner secara berjenjang pada tanggal 18 Januari
2017. Kuesioner tersebut berisi 10 poin, satu diantaranya diduga mendukung satu
di antara
paslon. Poin yang dimaksud yakni pada
poin 10 yang memuat pertanyaan “Kalau Pilgub dilaksanakan hari ini, Pasangan
Calon Gubernur manakah yang anda akan pilih 1. HATI, 2. NKRI, dan 3. Berzihadâ€.
Poin tersebut diakui oleh para Teradu, dalam sidang pemeriksaan
DKPP yang telah digelar sebelumnya. Para Teradu juga menjelaskan bahwa
kuesioner tersebut bertujuan untuk melakukan pemetaan dukungan pasangan calon di masing-masing
kelurahan/kecamatan dan menetapkan strategi pengawasan di Kota Gorontalo.
Berdasarkan fakta dan bukti
dalam sidang pemeriksaan yang telah diselenggarakan selama tiga kali yakni 4,
11, dan 18 April 2017 di kantor Bawaslu provinsi Gorontalo. Maka, DKPP
memutuskan untuk menjatuhkan sanksi peringatan kepada ketua dan anggota Panwas Kota
Gorontalo dalam sidang pembacaan putusan yang bertempat di ruang sidang DKPP,
Jl MH Thamrin 14 Jakpus.
“Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu mengabulkan pengaduan pengadu untuk sebagian. Menjatuhkan
sanksi berupa Peringatan kepada teradu I John Hendri Purba, teradu II Lismawy
Ibrahim, teradu III Taufiqurrahman Sulaiman selaku Ketua dan Anggota Panwaslih
Kota Gorontalo terhitung sejak dibacakannya Putusan ini,†kata Nur Hidayat Sardini saat
membacakan amar putusan.
Sanksi peringatan tersebut
dijatuhkan karena menurut DKPP, para Teradu dengan niat sadar dan sengaja telah melakukan
tindakan yang menegasikan asas penyelenggaraan Pemilu yang menjamin kerahasiaan
preferensi politik pemilih sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang Undang Nomor
1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang Undang sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang Undang.
“Terlebih substansi kerahasiaan
pilihan politik juga telah diatur secara eksplisit dalam Kode Etik
Penyelenggara Pemilu. Materi kuesioner yang menanyakan preferensi politik jelas
telah menimbulkan syakwasangka karena para teradu adalah
penyelenggara Pemilu yang seharusnya justru menegakan asas-asas penyelenggaraan
pemilu dan menaati Kode Etik Penyelenggara Pemilu, ucap Nur Hidayat Sardini saat
membacakan pertimbangan putusan.
Lebih jauh dijelaskan dalam
pertimbangan putusan bahwa tindakan dari
para teradu telah
memengaruhi wibawa, martabat, dan kehormatan institusi. Sehingga DKPP berpendapat alasan para
teradu tidak dapat diterima dan dalil Pengadu telah terbukti. Para teradu telah nyata terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 10 huruf g Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Nomor 13, 11, dan 1 Tahun 2012 Tentang Kode Etik
Penyelenggara Pemilihan Umum. (Foto: Sandhi, Berita: Irmawanti)