Surabaya, DKPP – Hakikat pemilu, menurut Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Didik Supriyanto adalah konversi suara (pemilih) menjadi kursi (calon terpilih). Oleh karena itu penyelenggara harus menjamin dan melindungi hak memilih dan hak dipilih.
Hal ini disampaikan Didik saat menjadi narasumber kegiatan Rapat Pimpinan dalam rangka Persiapan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, “Menyongsong Kick Off Pemilu 2024 Menyiapkan Barisan Merancang Strategi Antisipasi Kompleksitas Pemilu dan Pilkada 2024” yang diselenggarakan oleh KPU di Surabaya, Kamis (24/2/2024)
Dalam paparan, Didik mengawali dengan menyebut ketentuan Pasal 22E Ayat 5 UUD 45 yang berbunyi “Pemilihan Umum Diselenggarakan oleh Suatu Komisi Pemilihan Umum yang Bersifat Nasional, Tetap, dan Mandiri’.
Lanjut dia, mandiri artinya KPU bukan berada di bawah lembaga lain, untuk itu semua keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan sendiri. Hal ini penting untuk KPU yang selama enam bulan terakhir membuat jadwal tahapan.
“Jadi inilah hakikat pemilu yang kemudian menjadi tanggung jawab terbesar KPU dan Bawaslu yakni melindungi hak pilih dan hak dipilih. Manakala dua hak ini dilanggar, diabaikan maka, jika diadukan ke DKPP pasti diberi sanksi. Semua komisioner KPU, Bawaslu, wajib hafal pasal sakti ini,” kata Didik.
Mandiri kaitannya dengan DKPP bahwa pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu adalah pelanggaran terhadap prinsip kemandirian. Mandiri tertulis dalam konstitusi. Maka, penyelenggara pemilu harus mandiri. Dari sekian banyak prinsip yang sebenarnya paling utama adalah mandiri.
“Prinsip mandiri itu yang menelurkan prinsip lain, ada profesionalitas, kepastian hukum, dan lain-lain, itu mengarahnya ke prinsip mandiri” tegas Didik.
“Saat KPU tidak pada posisinya, KPU dianggap diintervensi tetapi kita juga paham ada kepentingan politik, ada kepentingan pemerintahan yang harus diperhitungkan,” ungkapnya.
Sementara itu soal pelanggaran kode etik. Meskipun berdasar data DKPP perkara yang melanggar prinsip kemandirian sedikit, tapi pelanggaran tersebut bermetamorfosis ke bentuk pelanggaran prinsip yang lain.
Berdasarkan data DKPP, ungkap Didik, pertama banyak penyelenggara pemilu kabupaten/kota terutama .terpilih yang sejatinya tidak memenuhi syarat karena terlibat dengan partai politik misalnya menjadi pengurus, tim kampanye, bahkan menjadi calon anggota legislatif. Mengapa orang-orang yang jelas tidak memenuhi syarat ini masih lolos menjadi catatan tersendiri.
Kedua, tidak bekerja sepenuh waktu, rangkap jabatan menjadi pengurus ormas, menjadi satuan kerja pemda, tidak nonaktif sebagai PNS, tidak nonaktif dari perusahaan.
“Saya yakin anda tahu soal ini, tapi sorry to say, praktik-praktik tersebut sejatinya diketahui oleh rekan kerja dari yang bersangkutan tetapi dibiarkan begitu saja. Hal ini dapat merusak prinsip kemandirian,” terang Anggota Panwaslu pada Pemilu 2004 ini.
Untuk diketahui Pasal 117 ayat (1) huruf k Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU 7/2017) menegaskan bahwa calon Anggota Bawaslu dari tingkat pusat hingga tingkat ad hoc harus mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum jika nantinya terpilih.
Didik juga memaparkan hasil survei yang dilakukan Populi Centre tahun 2021 lalu. Hasil survei tersebut menunjukkan tingkat kepercayaan publik atas kinerja KPU berada di angka 73,5%.
Sebagai informasi, acara ini juga dihadiri oleh Mochammad Afifuddin (Anggota Bawaslu RI), Slamet Soedarsono ( Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan), dan Syamardani (Direktur Politik Dalam Negeri) serta pimpinan KPU seluruh Indonesia. [Humas DKPP]