Jakarta, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Didik Supriyanto, S.IP., M.IP menjadi narasumber dalam webinar yang diadakan DKPP dengan tema “Pengaduan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu”, Selasa (3/11/2020).
Dalam kesempatan ini, Didik menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu sudah dikategorikan sebagai pesta demokrasi yang rumit, meskipun dilaksanakan dalam situasi normal.
Dengan masa pandemi seperti sekarang, kata Didik, pelaksanaan Pilkada serentak Tahun 2020 pun menjadi lebih rumit dari biasanya.
Didik menilai, kerumitan ini tampak dari saling bertolak belakangnya sifat dan karakteristik yang dimiliki Pilkada (pemilu) dengan pandemi.
Pandemi, katanya, selalu menyendiri di tempat yang sepi dan menghindari kerumunan. Sebaliknya, pilkada adalah pesta demokrasi yang akan disesaki oleh kerumunan.
“Ini dua hal yang dipertemukan dalam Pilkada 2020 sehingga sangat sulit bagi penyelenggara untuk memadukan dua hal itu dalam proses tahapan pilkada,” jelas Didik.
“Pelanggaran sangat mungkin terjadi, potensinya besar, apakah itu pelanggaran kode etik, administrasi, pidana pemilu, juga mungkin sengketa pemilu,” imbuhnya.
Didik sendiri berpendapat bahwa potensi pelanggaran terbanyak ada pada kategori administrasi dan kode etik.
Untuk pelanggaran kode etik, potensinya sangat besar karena ada kemungkinan penyelenggara pemilu di tingkat bawah mengalami kesulitan dalam memadukan antara pelayanan prima dengan regulasi yang berbasis dengan protokol kesehatan Covid-19.
Kendati demikian, Didik menyebut adanya hal-hal dilematis yang sangat mungkin akan terjadi pada saat penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Salah satu contohnya adalah adanya penyelenggara pemilu, entah petugas TPS atau pengawas TPS, yang tidak melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik karena kurangnya fasilitasi alat pelindung diri (APD) yang tersedia.
Contoh lain adalah ketika pemilih yang justru tidak melaksanakan protokol Covid-19 di TPS. Hal ini dapat mengurangi pelayanan akibat minimnya ketentuan protokol kesehatan yang dilaksanakan oleh pemilih yang datang ke TPS.
“Nah kalau gini kan kita enggak bisa salahin petugas karena dia juga harus menyelamatkan dirinya sendiri,” jelas Didik.
Didik pun menegaskan, hal-hal sejenis akan menjadi problem etik yang sangat rumit kalau tidak diantisipasi lebih awal.
“KPU ataupun Bawaslu, tidak sekedar menyiapkan fasilitas kesehatan tapi juga menyiapkan mental petugas sehingga dalam kondisi apa pun bisa ditangani dengan baik,” ujarnya.
Meskipun demikian, ia tetap mengimbau kepada seluruh pihak agar tetap melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi dalam tahapan Pilkada 2020, termasuk juga tahapan pemungutan dan perhitungan suara di TPS.
Namun, ia juga mengingatkan agar publik memahami jenis pelanggaran yang ingin dilaporkan agar penanganannya tepat sasaran.
Salah hitung dalam tahapan perhitungan suara misalnya, dapat dilaporkan ke atasan dari petugas yang diduga melakukan kesalahan sebagai dugaan pelanggaran administrasi.
“Ini bisa dikoreksi oleh jajaran atasnya, katakanlah KPU, sehingga paslon tidak merasa dirugikan pemilih juga demikian karena hitungannya sudah dibenarkan,” terang Didik.
Namun, lanjut Didik, jika pelaporan dugaan salah hitung tadi dibiarkan begitu saja, maka ini akan berubah menjadi dugaan pelanggaran kode etik karena KPU atau Bawaslu Kabupaten/Kota tidak melaksanakan tugasnya untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang telah dilaporkan.
“Jadi, meskipun pemilih atau paslon tidak dirugikan, kalau petugas pemilu tidak melakukan tugasnya itu tidak bisa dibenarkan,” ucap Didik.
“Di situlah DKPP sbg bagian dari penyelenggara pemilu berperan,” tutup Anggota Panwaslu RI pada Pemilu 2004 ini. [Humas DKPP]