Jakarta, DKPP – Delapan penyelenggara Pemilu Kota Bukittinggi diperiksa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu Nomor Perkara 294-PKE-DKPP/IX/2019 pada Kamis (24/10/2019).
Delapan penyelenggara Pemilu itu merupakan Teradu dalam nomor perkara 294-PKE-DKPP/IX/2019, yakni lima penyelenggara KPU Kota Bukittinggi dan tiga penyelenggara dari Bawaslu Kota Bukittinggi.
Lima Teradu KPU Kota Bukittinggi yaitu Beni Aziz (Ketua), Donny Syahputra, Zulwida Rahmayeni, Yasrul dan Heldo Aura. Masing-masing sebagai Teradu I, II, III, IV dan V.
Sedangkan tiga Teradu dari Bawaslu Kota Bukittinggi adalah Ruzi Haryadi, Eri Vatria dan Asneli Warni. Ketiganya berstatus sebagai Teradu VI, VII dan VIII.
Para Teradu diadukan oleh Anggota DPRD Kota Bukittinggi yang juga Ketua DPD PAN Kota Bukittinggi Fauzan Haviz. Menurut Fauzan, bahwa kepengurusan partainya sempat mengalami konflik dualisme di tingkat internal.
Dalam pokok aduannya, Fauzan mendalilkan para Teradu diduga bersikap kurang adil terhadap konflik internal yang terjadi di DPD PAN Kota Bukittingi pada masa tahapan pendaftaran peserta Pemilu 2019.
Fauzan mengungkapkan, berdasar putusan Mahkamah PAN, dirinya adalah Ketua yang sah dari DPD PAN Kota Bukittinggi. Hal itu pun sudah diberitahukannya kepada KPU dan Bawaslu RI serta KPU dan Bawaslu Provinsi Sumatera Barat. Putusan Mahkamah PAN sendiri dikeluarkan pada 5 Juli 2018.
Pada 14 Juli 2018, lanjut Fauzan, Ketua KPU Kota Bukittinggi yang merupakan Teradu I dalam perkara ini, Beni Aziz menolak permintaannya untuk mendaftar sebagai Calon Legislatif. Padahal, ia sudah menunjukkan putusan Mahkamah PAN.
Ia melanjutkan, KPU Kota Bukittinggi justru menerima pendaftaran dari pengurus DPD PAN Kota Bukittinggi yang tidak memiliki dasar hukum.
“KPU Kota Bukittinggi tidak memiliki sifat pelayanan yang adil dan setara dalam hal mana dalam kondisi konflik internal, mestinya KPU Kota Bukittinggi tidak menerima pendaftaran dari salah satu pihak. Karena KPU mesti independen sebagaimana sumpah dan janjinya,” terang Fauzan.
Sedangkan Teradu VI-VIII diadukan karena menyatakan KPU Kota Bukittinggi tidak bersalah dalam putusan akhir Nomor : 001/ADM/BWSL-Prov.SB.03.02/PEMILU/VII/2018 tanggal 3 Agustus 2018. Menurut Fauzan, tiga Teradu ini juga tidak menjadikan putusan Mahkamah PAN sebagai sumber hukum dalam mengambil putusan.
Usai ‘kalah’ di Bawaslu Kota Bukittinggi, Fauzan masih tetap berupaya mencari keadilan melalui Pengadilan Negeri Padang. Gugatan ini dilayakannya pada 24 Agustus 2018. Proses persidangan berjalang hingga tingkat kasasi, dan Fauzan pun memenangi gugatan di tingkat Mahkamah Agung.
Sementara itu, Ketua KPU Kota Bukittinggi, Benny Aziz berdalih bahwa tidak mengindahkan putusan Mahkamah PAN karena berpedoman pada Pasal 32 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang berbunyi, “Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan”.
Selain itu, ia menambahkan bahwa tahapan pendaftaran Pemilu 2019 bersifat sentralistik atau terpusat, sehingga pihaknya tidak dapat mengeksekusi putusan Mahkamah PAN.
“Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU Nomor 20 Tahun 2018, pendaftaran Calon Anggota Legislatif itu sentralistik, bukan lagi ke daerah. Itu yang kami pedomani,” jelas Benny.
Kepada majelis, ia menegaskan bahwa dirinya dan Anggota KPU Kota Bukittinggi tetap netral dan tidak memihak dalam konflik DPD PAN Kota Bukittingi.
Masih dalam sidang, Ketua Bawaslu Kota Bukittinggi Ruzi Haryadi juga membantah dalil yang disebutkan Fauzan. Ia mengungkapkan, dalam putusan Nomor: 001/ADM/BWSL-Prov.SB.03.02/PEMILU/VII/2018, pihaknya memang menyatakan KPU Kota Bukittinggi tidak bersalah.
“Karena Putusan Mahkamah Partai PAN merupakan hukum positif yang hanya berlaku final dan mengikat untuk internal Partai PAN. Hal ini sesuai dengan tembusan Putusan Mahkamah Partai PAN yang hanya ditujukan kepada pihak-pihak terkait, yaitu DPP PAN, DPW PAN Sumatera Barat,” kata Ruzi.
Sedangkan dalam memutus perkara Pelanggaran administrasi Pemilu, imbuhnya, Putusan Mahkamah PAN hanya dijadikan sebagai bukti-bukti untuk mengungkap peristiwa dan fakta di persidangan adjudikasi.
“Sehingga Putusan Mahkamah PAN tidak mengikat pihak-pihak tertentu khususnya Teradu VI, VII, dan VIII yang merupakan Penyelenggara Pemilu,” tutupnya.
Sidang ini berlangsung melalui sambungan video yang menghubungkan antara Mabes Polri di Jakarta dengan Mapolda Sumatera Barat di Padang. Kecuali Ketua majelis, semua pihak baik Anggota majelis, Pengadu maupun Teradu, berada di Mapolda Sumatera Barat.
Majelis sidang sendiri terdiri dari Anggota DKPP, Dr. Ida Budhiati selaku Ketua majelis, bersama Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Sumatera Barat sebagai Anggota majelis, Gabriel Daulai (unsur KPU), Vifner (unsur Bawaslu) dan Aermadepa (unsur Masyarakat). [Humas DKPP]