Palu, DKPP – Sosialisasi kode etik penyelenggara pemilu bagi
perguruan tinggi khususnya bagi kalangan
mahasiswa memegang peranan yang sangat strategis, terkait kontinuitas kehidupan
berbangsa dan bernegara yang hanya dapat berlangsung apabila penyelenggaraan
kehidupan bernegara tersebut senantiasa berlandaskan pada konstitusi.
Demikian Rektor yang diwakilkan
oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Dr. Sulbadana mengawali
sambutannya pada acara “Sosialisasi Kode Etik Penyelenggara Pemilu Tahun 2018â€,
yang diselenggarakan di The Sya Regency, Kota Palu, Senin (17/9)
“Kegiatan sosialisasi sangat
strategis dalam rangka kontinuitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang
sangat ditentukan oleh pemilu, tujuannya agar penyelenggara pemilu senantiasa
menjalankan fungsinya sesesuai dengan standar minimal dengan mengacu pada kode
etik,†kata Sulbadana.
Dalam sambutannya dia menjelaskan
bahwa salah satu event berdasar prinsip demokrasi yang sesuai dengan konstititusi dan dilakukan
setiap lima tahun sekali adalah pemilu. Pemilu ini dilakukan dalam rangka memilih kepala daerah, anggota legislatif,anggota DPD
hingga memilih presiden dan wakil presiden.
“Pengalaman Pemilu 2014 serta
Pilkada serentak 2017 yang baru saja dilaksanakan tanggal 27 Juni 2018 lalu menunjukkan
penyelenggaraan pemilu tersebut diwarnai dengan berbagai macam pelanggaran kode
etik. Data ini bisa dilihat di media misalnya terkait data Pemilu 2014 berdasarkan
laporan yang masuk ke DKPP ada lebih dari 100 laporan/aduan pelanggaran kode
etik dengan 50 {a942cb99e82172e4bfcdcfa80ee52d8b5ef0cf7bf0cf93f7ddb3fad4eee8c6b8}nya sampai disidangkan
oleh DKPPâ€, kata dia lagi.
“Pilkada 27 Juni, kami memeroleh informasi ada 76 kasus dugaan
pelanggaran kode etik dengan melibatkan 160 lebih anggota penyelenggara pemilu.
Ini menunjukkan bahwa kejadian seperti ini tidak bisa dibiarkan. Jadi seluruh
elemen bangsa termasuk perguruan tinggi khususnya mahasiswa harus mengambil
peran dan berkontribusi agar pemilu yang diselenggarakan oleh penyelenggara
pemilu dapat terselenggara dengan berintegritasâ€, lanjutnya.
Menurut Dekan FH Untad ini, jika
mengacu pada teori kriminologi yang menyebutkan bahwa suatu perbuatan yang
tidak baik (kejahatan) bisa terjadi karena adanya dua unsur yakni niat dan
kesempatan. Maka dalam konteks teori ini, sosialisasi memegang peranan yang
sangat penting bagi penyelenggaraan pemilu yang berintegritas di masa yang akan
datang.
Benang merahnya menurut doktor
alumni FH Unpad ini adalah hipotesa sederhana yakni dari sekian banyaknya
dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi pada Pemilu 2014 dan Pilkada serentak
2018 lalu. Dugaan pelanggaran kode etik mungkin saja tidak semata-mata
disebabkan karena adanya niat dari penyelenggara pemilu [ KPU/Bawaslu ] tetapi
juga disebabkan karena adanya suatu mind set kesadaran di kalangan penyelenggara
pemilu bahwa pengetahuan yang berkaitan dengan
kode etik belum menjadi milik publik.
“Mereka melakukan sikap dan tindakan
yang dikualifikasi sebagai pelanggaran kode etik. Salah satu yang mendorong
adalah kesempatan/kesadaran, oleh karena itu dengan sosialisasi kode etik
penyelenggara pemilu di kalangan mahasiswa tentu saja ini akan membawa
kesadaran baru di kalangan penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu bahwa
pengetahuan yang terkait dengan kode etik penyelenggara pemilu sudah menjadi
pengetahuan umumâ€, tambahnya.
Kesadaran ini diharapkan akan mencegah penyelenggara untuk melakukan suatu
sikap yang bertentangan kode etik dan kehadiran mahasiswa sebagai bagian dari elemen
bangsa dengan kesadaran tersebut maka secara tidak langsung artinya mahasiswa
sudah berkontribusi terhadap terselenggaranya pemilu berintegritas yang sangat menentukan
perjalanan bangsa ini ke depan sehingga pada saatnya terwujud cita-cita dan
tujuan nasional. [Diah Dio]