Sawahlunto, DKPP – Sistem Pemilihan
Umum (Pemilu) di Indonesia sekarang ini mengalami perkembangan sangat
dinamis. Banyak kelebihan dan kekurangan yang tentu menjadi catatan. Saya
berharap berbagai kelemahan dari penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014 yang
dirasakan jauh dari prinsip-prinsip berdemokrasi yang baik itu menjadi bahan
buat evaluasi dalam rangka membangunblue print atau cetak biru
untuk penyelenggaraan pemilu di 2019 dan seterusnya. Apalagi desain pemilu 2019
sudah pasti akan berubah karena sudah ada satu keputusan yang strategis dari
Mahkamah Konstitusi, yakni mulai 2019 pemilu akan dilakukan serentak.
Demikian dikemukakan oleh Ketua Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Jimly Asshiddiqie, saat menjadi keynote
speech pada pembukaan kegiatan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara
& Penganugrahan Muhammad Yamin Award yang diselenggarakan oleh Pusat Studi
Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang bekerjasama dengan Tahir
Foundation dan Pemerintahan Kota Sawahlunto di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat,
Kamis (29/5).
Peserta yang hadir dalam acara ini kalangan
akademisi, praktisi pemilu, unsur pemerintah daerah provinsi Sumatera Barat, pegiat
konstitusi dan pemilu, peneliti, organisasi, mahasiswa, dan media massa. Jimly
yang juga pakar hukum tata negara Universitas Indonesia ini mengatakan, Pemilu
serentak antara Pemilu presiden dan Pemilu legislatif diselenggarakan
secara bersamaan. Model pemilu serentak ini sebenarnya sudah dilakukan pada Pemilu
di Lampung 9 April 2014, di mana Pemilu Legislatif dilakukan
bersamaan dengan Pemilu Gubernur sehingga hal ini bisa menjadi contoh. “Oleh
sebab itu, cetak biru sistem politik kita meskipun itu
hanya masalah jadwal pelaksanaan pemilu akan tetapi dampak strategisnya cukup
besar,†katanya.
Lanjut dia, implikasinya sangat
signifikan karena berpengaruh terhadap struktur jabatan-jabatan yang dipilih
sehingga perlu dipikirkan suatu desain mengenai sistem pemilu. Selain berdampak
pada struktur jabatan-jabatan yang dipilih, struktur di parlemen dan komposisi
mayoritas di DPR, juga berdampak pada sistem kepartaian. Oleh karena itu, perlu
dilakukan evaluasi secara komprehensif sekaligus untuk mengatasi kekurangan dan
kelemahan yang ada.
“Harapan kita blue print ini
cepat diselesaikan supaya diperlukan persiapan waktu yang cukup,†jelas dia.
Jimly yang pernah menjadi ketua DK
KPU tahun 2009-2010 ini mengingatkan, kemajuan tekonologi dan tantangan praktik
berdemokrasi di zaman modern sekarang makin kompleks sehingga Indonesia harus
mempersiapkan kemungkinan akan diterapkannya sistem E-votting dengan
menggunakan teknologi modern. Proses E-KTP sudah hampir selesai dan bila
program E-KTP telah selesai maka administrasi kependudukan pun akan tertib
sehingga sudah saatnya bangsa ini menerapkan sistem pemilu berbasis elektronik.
“Saya berpendapat dengan sistem
pemilu serentak maka rakyat Indonesia bisa memastikan terpisahnya antara
kepemimpinan presiden dan kepemimpinan di parlemen. Oleh karena pemilu
diselenggarakan serentak maka rakyat boleh memilih dengan bebas. Rakyat boleh memilih
presiden dari partai A tetapi boleh memilih anggota DPR dari partai B. Hal ini
sangat mungkin terjadi dan dengan demikian hasil pemilu tidak akan serta-merta
memastikan bahwa partai A menang kemudian jadi presiden. Pada titik inilah kita
akan menyaksikan bahwa antara sistem eksekutif dan legislatif itu terpisah,†beber Jimly
yang juga salah satu tokoh kunci pelopor berdirinya MK pada tahun 2003 itu.
(ry/ttm/dw)