Jakarta, KPU – Sikap ketidakberpihakan menjadi
kewajiban bagi seluruh penyelenggara Pemilu. Bagi penyelenggara Pemilu yang
berpihak, akan dikenakan sanksi kode etik.
“Haruskah sikap politik penyelenggara Pemilu itu
netral seperti TNI dan Polri?†kata salah seorang peserta kepada Ketua DKPP,
Prof. Jimly Asshiddiqie dalam sesi tanya jawab pada acara Rapat Koordinasi
Bidang Sumber Daya Manusia KPU dan KPU Provinsi Seluruh Indonesia, di Hotel
Novotel, Jalan Gajahmada, Rabu (4/6) sore. Hadir dalam kesempatan tersebut
perwakilan dari komisioner KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi dari seluruh
Indonesia.
Menurut Jimly, gagasan itu merupakan ide bagus. Tapi
tidak untuk sekarang hanya untuk jangka menengah. Misalnya, para penyelenggara
Pemilu itu sepakat terhadap netralitas, mereka bisa saja memiliki status khusus
seperti TNI dan Polri.
“Cuma ada resiko, bila netralitas penyelenggara
Pemilu seperti TNI dan Polri. Tidak mendidik bagi pemilih. Perlu
diterangkan alasan yang jelas. Saya kira itu bisa. Kemudian
dicantumkan di dalam UU (netralitas itu, red),†jelas dia.
Meskipun di negara-negara yang sistem
kelembagaannya TNI dan Polri sudah profesional, hak politik pun
tidak ada masalah. Di Jerman misalnya. Seorang TNI dan Polisi serta pegawai
negeri sipil (PNS) diperbolehkan untuk mencalonkan sebagai anggota legislatif.
Nanti bila terpilih, dia berhenti dari PNS-nya. Bila sudah pensiun dari
parlemen dia kembali lagi.
Toh birokrasi itu tidak ada
pengaruhnya apa-apa dengan berubahnya seorang individu. Karena kultur kerja
sudah profesional. Tidak ada masalah. Anggota militer atau polisi mau ikut
nyaleg, boleh. Apalagi mau memilih, mau nyaleg aja boleh. Karena semua orang
sudah tahu membedakan hak dan kewajibanya. Mana urusan pribadi dan mana
institusi, jelas mantan ketua MK itu.
Jadi begitu gambaran, ketika sistem peradaban berdemokrasi,
struktur kelembagaan bernegara sudah terpisah dengan soal-soal yang bersifat
pribadi, tidak perlu ada batasan-batasan. “Toh, hak politik itu hak
semua orang,†jelasnya lagi.
Dia berpendapat, sebenarnya pengadilan pun tidak
perlu bila orang sudah mengetahui hak dan kewajibannya. Dia memisalkan, ketika
Khalifah Abu Bakar Sidiq, Zaman Khulafurasyidin. Pada waktu itu, Umar Bin
Khatab diangkat menjadi Qhadi, ketua mahkamah konstitusi pada waktu itu.
“Pada waktu itu Umar bilang kepada Abu Bakar ‘Ini
jabatan saya kembalikan’. Kemudian, Abu Bakar heran. Sang Khalifah pun
bertanya, ‘Kenapa? Apa kurang bergengsi? Atau terlalu banyak masalah?’. Jawab
Umar, ‘Saya sudah satu tahun menjadi Qodi tapi menganggur karena
tidak ada perkara. Saya meminta jabatan lain,†jelas Jimly.
Dari kejadian tersebut
Jimly menyimpulkan bahwa, ketika masyarakat sudah tahu hak dan kewajibannya,
orang tidak mengambil lebih dari haknya dan tidak memberi kurang dari
kewajibannya maka tidak
perlu lagi ada pengadilan. “Kalau sudah begitu, pengadilan pun tidak
perlu,†tutup guru besar hukum tata negara UI itu. (ttm)