Jakarta, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa Anggota KPU Kota Gunungsitoli, Happy Suryani Harefa. Pemeriksaan dilaksanakan dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) perkara nomor 61-PKE-DKPP/VI/2020 pada Kamis (2/7/2020), pukul 13.00 WIB.
Perkara dengan nomor pengaduan 65-P/L-DKPP/V/2020 ini diadukan oleh Kariaman Zebua, Ketua DPD KNPI Kota Gunungsitoli. Teradu (Happy Suryani Harefa) didalilkan telah melanggar kode etik dengan mengomentari tautan berita terkait pemberhentian tetap Anggota KPU RI, Evi Novida Ginting Manik di akun pribadi media sosial (medsos) Facebook atas nama Happy Suryani Harefa.
Setidaknya ada lima hal yang disampaikan oleh Pengadu di hadapan majelis melalui sidang virtual ini. Pertama menurut Pengadu, sebagai komisioner KPU, Teradu tidak boleh beropini, mendramatisir serta turut memprovokasi dan menyebarkan informasi yang berpotensi mengundang konflik kepentingan, apalagi yang bermuatan mendeskreditkan pemerintah dalam hal ini Presiden Republik Indonesia. Kedua Teradu seharusnya tidak boleh menilai apalagi mendeskreditkan instansi yang lebih tinggi dalam hal ini di DKPP sebagai lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutuskan serta mengadili dugaan pelanggaran kode etik pemilu baik itu KPU maupun Bawaslu dalam semua tingkatan.
Ketiga, Teradu mendeskreditkan Presiden bahwa seakan-akan presidenlah yang memberhentikan Evi Novida Ginting Manik secara sewenang-wenang padahal sesungguhnya Presiden mengeluarkan keputusan pemberhentian hanya secara administratif, setelah melalui proses yang diamanatkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2017.
“DKPP memeriksa dan memutuskan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu untuk kemudian hasil keputusan itu diteruskan kepada Presiden guna penerbitan SK pemberhentian. Opini serta upaya membentuk opini ini jelas-jelas diposting melalui media sosial Facebook guna mendapat dukungan netizen atau publik bahwa presiden dan DKPP bertindak diluar kewenangan,” kata Pengadu.
Keempat, selain beropini dan membentuk opini publik, Teradu juga berusaha mendramatisir keputusan DKPP serta SK pemberhentian oleh Presiden dengan mengemukakan bahwa pemecatan itu sebuah tragedi.
Menurut Pengadu, pernyataan tersebut mengesankan bahwa Evi Novida Ginting Manik sebenarnya merupakan tokoh yang memiliki kualitas baik dan tidak bersalah namun mengalami nasib buruk, artinya dikorbankan.
“Yang pertama dalam sejarah, terkesan ada semacam unsur kesengajaan atau rencana dari DKPP dan presiden untuk menjadikan menjadi korban ENG sebagai korban pertama dalam sejarah kepemiluan, karena sesungguhnya ada komisioner KPU yang sudah terlebih dahulu dipecat oleh DKPP. Selain itu pernyataan Teradu tentang mengorbankan satu-satunya komisioner perempuan mengesankan bahwa DKPP dan presiden tidak pro gender dan ENG dipecat bukan karena terbukti melanggar kode etik, tetapi lebih kepada faktor yang bersangkutan berjenis kelamin perempuan,” lanjut Pengadu.
Kelima, Teradu ternyata tidak puas mendeskreditkan DKPP, dengan bukti dari diskusi-diskusi yang dilakukan, diluar memposting sampai empat kali keputusan DKPP dimaksud juga kegiatan webinar tentang kasus 137,” tambah Pengadu.
Bantahan Pengadu
Teradu membantah seluruh pokok aduan. Menurutnya, pokok aduan Pengadu tidak jelas menerangkan dugaan pelanggaran etik seperti apa yang dilakukan olehnya, sehingga pengaduan Pengadu patut ditolak oleh DKPP.
Menurutnya, postingan di Facebook tersebut merupakan reaksi spontanitas dirinya secara pribadi atas berita di salah satu media online berjudul “Dipecat Jokowi, Eks Komisioner KPU Evi Novida Gugat ke PTUN”.
“Berita tersebut sudah menyebar secara publik baik di media daring lainnya ataupun di media elektronik. Latar belakang saya membuat postingan adalah sebagai afirmasi perempuan di tubuh penyelenggara pemilu yang diatur dalam UU No.7 tahun 2017 pasal 10 ayat 7 yang berbunyi: ‘Komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU Propinsi, dan keanggotaan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%’,” jelas Teradu.
“Postingan saya sebagai wujud perempuan peduli kesetaraan gender di KPU dan untuk menunjukkan keprihatinan saya dengan pemecatan yang mengakibatkan hilangnya perempuan di jajaran komisioner KPU RI,” lanjutnya.
Teradu menambahkan bahwa postingan tersebut adalah sebagai bentuk empati kepada Evi Novida Ginting Manik sebagai satu-satunya komisioner perempuan di KPU RI yang juga berasal dari wilayah yang sama dengan dirinya, Sumatera Utara.
“Saya mengenal beliau sebagai sosok yang aktif memperjuangkan partisipasi perempuan dalam pemilu, termasuk kehadiran perempuan sebagai penyelenggara pemilu di tingkat KPU Kab/Kota di Indonesia, secara khusus di Kepulauan Nias. Saya merasa kehilangan, kehilangan penyemangat dalam isu-isu seputar kesetaraan gender dalam pemilu.
“Meskipun demikian, yang mulia, dalam postingan, saya mengembalikan semuanya pada beliau untuk membuktikan keberatannya di PTUN. Jika PTUN nantinya menyatakan tidak terbukti, maka beliau beserta semua simpatisan saya, tetap wajib menghormatinya,” pungkas Teradu.
Hadir sebagai Pihak Terkait Anggota KPU Kota Gunungsitoli serta Ketua dan Anggota KPU Prov. Sumatera Utara. Sementara Pengadu menghadirkan saksi yakni Arori Hulu dan Sokhiatulo Harefa.
Sidang yang digelar secara virtual ini dipimpin oleh Ketua majelis, Anggota DKPP Dr. Alfitra Salamm didampingi Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Sumatera Utara yang bertindak sebagai Anggota majelis, yakni Mulia Banurea, M.Si (unsur KPU), Henry Simon Sitinjak, S.H (unsur Bawaslu), dan Nazir Salim Manik, MSP (unsur masyarakat). [Humas DKPP]