Jakarta, DKPP – Penyelenggara Pemilu di tingkat KPPS
memiliki peran yang sangat penting dalam suksesnya penyelenggara Pemilu. Akan
tetapi, problematika juga kerap terjadi di tingkat ad hoc itu.
Anggota KPU Provinsi Gorontalo Ahmad Abdullah mengakui bahwa pihaknya
kesulitan mencari petugas khususnya di tingkat PPS, dan KPPS. Hal ini
disebabkan karena sumber daya manusia dan minatnya yang langka. Pasalnya,
menjadi penyelenggara Pemilu aturannya cukup ketat. Misalnya, harus berusia
minimal 25 tahun, dan tidak boleh lebih dari dua periode. “Akibatnya, proses
perekrutan beberapa kali tertunda,†ucapnya dalam acara Realitas Politik
dengan tema Pembentukan KPPS Pilkada di TVRI, Senin (28/11/2016)
pukul 21.00 WIB. Narasumber lainnya, Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu Prof. Anna Erliyana dan Pimpinan Bawaslu RI Nasrullah.
Sementara itu, Anggota DKPP Prof. Anna Erliyana mengatakan, pelanggaran
kode etik yang dilakukan oleh petugas KPPS tidak bisa ditimpahkan kepada
penyelenggara di atasnya. Karena kode etik menyangkut masing-masing. Secara
kuantitas pihaknya sedikit memproses dugaan pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh petugas KPPS atau PPS.
“Hal tersebut mengingat masa kerja yang relatif singkat. Masuknya pengaduan
hingga naik sidang membutuhkan waktu. Dan sanksi hanya bisa dijatuhkan terhadap
petugas yang masih menjabat,†katanya.
Akan tetapi, Anna menjelaskan bahwa pihaknya masih bisa menyiasati. Dalam
isi pertimbangan Putusan memasukkan tausiyah atau nasihat agar ke depannya
mereka yang melanggar kode etik tidak dilibatkan lagi sebagai
penyelenggara Pemilu. “Sebetulnya ini sebagai hukuman juga. Dengan kata
tegasnya, kamu tidak boleh lagi menjadi penyelenggara Pemilu selamanya (bagi
yang melanggar, red),†ujarnya.
Untuk itu, dia menambahkan, sebagai perbaikan pelaksanaan bimbingan teknis
(Bimtek) mesti lebih ditingkatkan lagi kualitasnya. Biasanya anggaran selalu
menjadi keluhan. “Bimtek ini bukan hanya sekedar proforma saja,†ucapnya.
Menurut Nasrullah, Anggota Bawaslu RI, pihaknya melihat banyak
penyelenggara Pemilu khususnya di tingkat ad hoc yang bertugas
berkali-kali, dari Pemilu ke Pemilu. Untuk itu, pada Pemilukada serentak tahun
2015, pihaknya merekomendasikan kepada KPU untuk membatasi. Dan hasilnya
berpengaruh positif. “Proses pemungutan suara lebih bisa dikontrol,†katanya. [teten
jamaludin]