Bandung, DKPP – Anggota DKPP, Alfitra Salam, menyampaikan materi di
Kelas C, dengan tema “Evaluasi Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu di
Provinsi Jawa Barat” dalam rangkaian kegiatan Rapat Koordinasi Evaluasi
Penanganan Pelanggaran Kode Etik Pengawas Pemilu pada Pilkada Jawa Barat tahun
2018, di Mason Pine Bandung, Kamis (30/8).
Untuk diketahui, peserta di kelas C ini dihadiri oleh Komisioner dan
Sekretariat Bawaslu Kota Cimahi, Kota Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten
Garut, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Sukabumi.
Mengawali pertemuan, Alfitra menyebut bahwa pelanggaran kode etik di
Provinsi Jawa Barat cukup tinggi. Berdasarkan data pengaduan yang masuk ke
DKPP, Provinsi Jawa Barat menempati urutan ke-12 dengan total aduan sebanyak
135 aduan dari tahun 2012 hingga tahun 2018. Pengaduan ini terkait tahapan
Pilkada tahun 2018 di Provinsi Jawa Barat, yangÂ
meliputi syarat dukungan paslon perseorangan, pendaftaran paslon,
kampanye, pungut hitung surat suara di TPS, dan rekapitulasi.
“Tahap pendaftaran paslon menempati urutan teratas dengan
jumlah pengaduan 7 perkara, biasanya yang melapor adalah paslon yang dinyatakan
tidak memenuhi syarat dukungan di KPU, mereka mengeklaim bahwa pihaknya
memiliki banyak dukungan, dan atau biasanya pihak yang kalah pun akan melapor
ke DKPP,” urai Alfitra.
Dalam paparannya, Alfitra juga menyampaikan data putusan DKPP
terhadap penyelenggara pemilu di Jawa Barat dengan jumlah rehabilitasi
menempati urutan pertama. Hal ini menunjukan bahwa disinilah tugas DKPP dalam
menjaga kehormatan penyelenggara pemilu. Dari sekian banyak pengaduan yang
masuk yang menyeret nama-nama penyelenggara, setelah dilakukan pemeriksaan
dalam sidang dan tidak terbukti, maka tugas DKPP adalah merehabilitasi. Sebab,
tidak semua aduan terhadap penyelenggara itu terbukti melanggar kode etik.
Berkaca dari kasus-kasus yang telah ditangani DKPP, Alfitra berpesan
agar penyelenggara disamping memahami regulasi, juga harus tetap menjaga
netralitas, baik dalam dunia nyata maupun di media sosial (WhatApp, facebook,
twitter, dll).
“Statement Anda, baik dalam bentuk komentar maupun postingan di media sosial
terhadap calon, bisa dianggap sebagai bentuk pemihakan. Maka tahan diri,
berlakulah pasif,” pungkasnya. (Nur Khotimah / Humas DKPP)