Jakarta, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dr. Alfitra Salamm memberikan apresiasi kepada Komisi II DPR RI, KPU, Bawaslu, dan stakeholder pemilu atas kerjasama yang baik sehingga Pilkada serentak 2020 dapat terselenggara.
Hal ini disampaikan Alfitra saat menyampaikan pengantar pada Webinar Nasional Kerjasama DKPP RI dengan Universitas Diponegoro dengan tema “Pilkada Tahun 2020 di Tengah Pandemi Covid-19 : Pelajaran Integritas dan Proyeksi Perbaikan ke Depan”.
“Hampir semua webinar yang saya ikuti selama ini, Pilkada serentak 2020 ini banjir dengan pujian, banjir dengan surprise. Untuk hal ini saya memberikan apresiasi atas kerjasama selama ini karena sebelum pilkada banyak penolakan, ada petisi. Bahkan juga ormas-ormas Islam termasuk NU dan Muhammadiyah menolak pilkada. Jadi, peristiwa 9 Desember ini saya anggap sebagai hikmah, berkah bagi karena berjalan dengan baik,” Alfitra mengawali.
Penyebab Pilkada Serentak 2020 Sukses Menurut Alfitra Salamm
Alfitra memaparkan beberapa sebab mengapa Pilkada 9 Desember ini sukses. Pertama, penundaan pilkada dari 23 September ke 9 Desember 2020 justru membawa hikmah. Penyelenggara dapat melakukan sosialisasinya lebih panjang, persiapannya juga semakin matang dan hal-hal yang berkaitan dengan protokol kesehatan juga semakin matang.
“Penundaan ini menurut saya ada hikmah yang luar biasa, persiapan menjadi semakin matang. Semua pihak terutama Komisi II, KPU, Bawaslu, dan termasuk juga stakeholder yang berkaitan dengan protokol kesehatan sudah sangat siap dalam konteks penyelenggaraan pilkada persiapannya sudah matang melaksanakan,” kata Alfitra.
Kedua, dari segi etik bahwa pada Pilkada 9 Desember 2020 terjadi penurunan pelanggaran dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Terkait hal ini, Alfitra memberikan penjelasan. Menurut dia, sebab utama penurunan ini adanya kaderisasi yang baik di penyelenggara tingkat permanen yakni provinsi dan kabupaten.
“Penyelenggara di tingkat provinsi sebelumnya pernah menjadi penyelenggara di tingkat kabupaten sehingga sebagai penyelenggara lama, mereka tidak mungkin mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa lalu. Jadi kaderisasi sudah berjalan dengan bagus. Saya kira mungkin ke depan persyaratan-persyaratan untuk menjadi penyelenggara adalah pernah bekerja sebagai penyelenggara,” lanjutnya.
Namun demikian kaderisasi ini justru berbanding terbalik dengan penyelenggara di tingkat ad hoc. “Kaderisasi di tingkat ad hoc kurang baik. Ada penyelenggara karbitan, ada penyelenggara yang asal comot, sehingga pelanggaran etik lebih banyak pada level ad-hoc,” ungkapnya.
Ketiga, berkaitan dengan laporan yang banyak berasal dari peserta pemilu. Alfitra melihat ada indikasi peserta pemilu baik parpol atau paslon menjadi pihak yang melapor ke DKPP. Dia berpendapat hal ini berkaitan dengan harga diri peserta pemilu. Laporan mereka ke DKPP menjadi ‘publish” bagi mereka bahwa ada suatu kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara, ada suatu tuntutan keadilan yang dilakukan kepada penyelenggara.
“Setelah kalah, harga diri mereka itu dilemparkan ke DKPP. Ini poin bagi bupati atau walikota perorangan yang gagal, karena masyarakat tahu mereka sudah melaporkan ke DKPP. Artinya ada kecurangan. Kecurangan itu dilemparkan ke DKPP, seolah-olah mereka kalah karena kecurangan. Ini menyangkut harga diri,” ucapnya.
Terkait protokol kesehatan, Alfitra menilai menjelang pilkada hingga pilkada terjadi konsistensi penegakan hukum yang cukup bagus sehingga masyarakat yakin keluar rumah dan memberikan hak suara mereka pada tanggal 9 Desember. Pemilih dalam pilkada ini cukup baik bahkan di luar dugaan dengan tingkat partisipasi hampir 75%.
“Mungkin salah satunya karena masyarakat sudah bosan di rumah. Mereka ingin melihat bagaimana pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19. Bagaimana tata cara penyelenggaraannya, masyarakat ingin tahu, di samping tentunya dukungan dari paslon sangat yang juga penting mempengaruhi pemilih untuk keluar rumah,” ujarnya.
Rekomendasi Alfitra Salamm
Untuk pilkada yang akan datang Alfitra sekali lagi menegaskan pentingnya kaderisasi untuk mengurangi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Bahkan Alfitra merekomendasikan perlunya ‘sertifikasi etik’ sebagai salah satu syarat untuk menjadi penyelenggara .
Rekomendasi lain yakni memasukkan landasan hukum bencana nonalam dalam undang-undang pemilu mengingat belum ada kepastian kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Landasan hukum ini penting untuk perbaikan dasar hukum terkait protokol kesehatan yang selama ini hanya berdasarkan Keppres, surat edaran, Inpres. Alfitra merekomendasikan dimasukkannya satu bab terkait penyelenggaraan pemilu atau pilkada dalam era bencana nonalam.
DKPP Dan Sosialisasi Penegakan Kode Etik
Hal terakhir yang disampaikan Alfitra dalam paparannya yakni terkait penyebab rendahnya pelanggaran etik selama Pilkada, menurut dia karena masyarakat sudah mengenal DKPP. DKPP melakukan sosialisasi yang cukup intens ke universitas, ormas, organisasi pemuda, dan media. Dengan demikian masyarakat tahu keberadaan DKPP. Masyarakat semakin sadar bahwa DKPP adalah lembaga yang menjaga marwah penyelenggara. Sosialisasi lain yang dilakukan oleh DKPP adalah dengan menyiarkan secara langsung sidang-sidangnya.
“Sosialisasi penting dalam proses pencegahan. Masyarakat akan tahu jika sidang-sidang pemeriksaan DKPP dilakukan transparan melalui live streaming Facebook DKPP. Bagi kami live streaming adalah sarana memberikan edukasi. Banyak sekali masyarakat yang ikut menyaksikannya langsung. Mereka dapat mengikuti proses persidangan, pembacaan putusan. Edukasi DKPP sudah bagus. Inilah salah satu yang menyebabkan mengapa pelanggaran pelanggaran etik menurun, bahkan Papua sekarang turun ke urutan nomor 2, tetapi di Sumatera Utara justru naik ke urutan pertama,” jelas dia.
Alfitra berharap untuk dibentuk pusat etika di Undip. “Saya berharap Undip satu-satunya universitas yang akan membentuk pusat etika pemilu. Pusat studi ini penting sekali, sehingga kita bisa berkesinambungan tentang etika penyelenggara dalam rangka menyambut etika nasional. Seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara diharapkan menerapkan etika sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Sebagai informasi, Webinar Nasional Kerjasama DKPP RI dengan Universitas Diponegoro pada Selasa (29/12/2020) ini adalah webinar pamungkas yang digelar DKPP sepanjang tahun 2020. Narasumber webinar Dr. Alfitra Salamm, APU (Anggota DKPP RI), Saan Mustopa (Wakil Ketua Komisi II DPR RI), Dr. Nur Hidayat Sardini (Ketua Bawaslu RI 2008-2011 dan Anggota DKPP RI 2012-2017), Puji Astuti (Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan FISIP UNDIP), dan Hendra Try Ardianto (Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan FISIP UNDIP) dengan moderator Dzunuwanus Ghulam Manar (Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan FISIP UNDIP). [Humas DKPP]