Makassar, DKPP – Anggota DKPP, Dr. Alfitra Salamm angkat bicara mengenai kelemahan dari Pemilu serentak 2019. Hal ini diungkapkannya dalam Seminar Nasional Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP Unhas dengan tema “Evaluasi Pemilu 2019” yang diselenggarakan di Aula Prof. Syukur Abdullah, lantai 3 FISIP Unhas, Makassar, pada Kamis (5/12/2019).
“Kelemahan Pemilu Serentak 2019 adalah keserentakannya,” ungkap Alfitra yang menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut.
Alfitra beranggapan, keserentakan dalam Pemilu 2019 perlu dievaluasi dengan alasan yang berkaitan dengan beberapa isu strategis, di antaranya adalah kompetensi penyelenggara serta terganggunya kredibilitas dan integritas.
Hal itu, lanjutnya, sangat dekat dengan penyelenggara tingkat ad hoc, yang disebut Alfitra kerap menimbulkan permasalahan.
Menurut Alfitra, mencari penyelenggara Pemilu tingkat ad hoc yang kompeten dan berintegritas sangatlah sulit. Padahal, jelasnya, hulu Pemilu ada di tingkatan ini.
“Jika dari hulunya saja salah, maka banyak salah dalam pemilihannya. Salah satu solusi permasalahan SDM ini dengan bergandengan tangan dengan mahasiswa,” kata Alfitra.
“Ada bentuk KKN Pilkada atau Pilpres, dan yang menjadi KPPS adalah mahasiswa,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Ketua Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) ini berbicara tentang banyaknya penyelenggara Pemilu yang meninggal dunia dalam pelaksanaan Pemilu 2019 akibat bekerja tanpa henti pasca pemungutan.
“Solusinya harus ada pergantian shift sehingga ada jeda waktu untuk istirahat,” ucapnya memberikan solusi.
Permasalahan berikutnya terkait dualisme parpol yang menghambat pemilu, masa kampanye yang terlalu lama, logistik yang tersentralisasi, dan politik uang. Biaya politik besar sebab masing-masing calon kerja sendiri, tidak terbantu oleh parpol.
Masing-masing calon bersaing di internal dan eksternal partai, dan sebagai bentuk pengamanan saksi parpol.
“Membuktikan kasus money politic itu sulit. Dapat dikatakan money politic menjadi motor bagi masyarakat untuk memilih. Oleh karena itu, birokrasi dalam partai harus disederhanakan, belum lagi maharnya,” kata Alfitra.
Akan tetapi, lanjut dia, dari semua problematik keserentakan ini, patut diketahui bahwa keserentakan dalam Pemilu 2019 juga memiliki dampak positif, di antaranya terkait biaya, partisipasi pemilih meningkat meskipun caleg tidak dikenal dibandingkan Capres.
“Jika tidak serentak, maka hampir setiap minggu ada pilkada mengingat jumlah puluhan Kabupaten/Kota, dan ini menggangu proses kesinambungan pembangunan daerah. Terlalu seringnya Pilkada, maka proses keributan menonjol sekali, noisy demokrasi. Demam politiknya tiap minggu, dan kelelahan bagi pemilih. Keserentakan juga mempermudah kalender ketatanegaraan, sinkronisasi perencanaan, proses agenda pembangunan,” pungkasnya. [Humas DKPP]