Balikpapan, DKPP – Pilkada serentak 2020 yang akan digelar pada 9 Desember mendatang hanya tinggal dalam hitungan hari. Tidak ada diskusi yang dilakukan baik oleh pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu untuk menunda pilkada, pilkada tetap berjalan.
Anggota Dewan kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Dr. Alfitra Salamm, dalam acara Ngetren Media (Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu Dengan Media) yang diselenggarakan pada Kamis (26/11/20) di Kota Balikpapan mengungkapkan beberapa hal.
Menurut Alfitra, Pilkada serentak 2020 adalah wujud dari demokrasi minimalis. “Pemilu adalah pesta demokrasi, terlebih kampanye yang melibatkan banyak orang dengan suasana yang gegap gempita. Pilkada dan pandemi covid-19 adalah dua hal yang paradoks, saling bertolak belakang,” kata Alfitra.
Lanjut dia, hampir sebagian besar calon kepala daerah (cakada) belum menggunakan demokrasi digital. Pertemuan tatap muka yang dibatasi hanya sebanyak 50 orang saja. “Pemerintah ingin pilkada ini adalah pilkada sehat. Saya melihat memang cakada kurang kreatif memanfaatkan medsos. Berdasarkan survei baru 2% cakada dari 270 yang menggunakan medsos,” katanya lagi.
Hal lain yang disampaikan Alfitra di hadapan media yang hadir adalah terkait petahana. “Saya melihat peluang petahana cukup tinggi, tapi yang dikhawatirkan adalah penggunaan uang untuk mempengaruhi pemilih. inilah hal yang paling dikhawatirkan,” lanjutnya.
Politik uang tidak hanya digunakan oleh petahana tapi oleh semua calon. Hasil survei itu 60% pemilih suka uang. Regulasi kita sangat lemah untuk mengatasi money politic, sulit untuk dibuktikan. Regulasi kita ini memberikan peluang maraknya money politic,” ungkap Alfitra.
Selain politik uang, Alfitra berpendapat petahana diuntungkan karena sudah lebih dikenal, di masa pandemi covid ini bagi petahana birokrasi (ASN) dapat menjadi mesin politik, sehingga ada kalimat sinis sebagian masyarakat sebenarnya Pilkada tahun 2020 ini hanya sekadar stempel bagi petahana.
“Fluktuasi money politik ini tergantung pertumbuhan ekonomi daerahnya. Sekali lagi, ancaman yang sangat berbahaya ini adalah politik uang. Biasanya, minggu tenang itu adalah minggu tidak tenang, di saat itulah para pengguna uang beraksi, sudah tidak ada lagi namanya serangan fajar, tapi serangan bisa dilakukan kapan pun.” tambahnya.
Alfitra juga menyampaikan soal maraknya kampanye hitam, hoaks melalui media sosia yang sulit dikontrol.Penggunaan medsos ini sangat luar biasa untuk membentuk opini masyarakat
“Survei yang saya dapat, penyebar hoaks ini rata-rata generasi tua. Karena orang tua ini ‘baper’, bawa perasaan. Beda dengan generasi muda, mereka tau mana yang hoaks mana yang bukan, diakui generasi muda lebih kritis dalam penggunan medsos. Pandangan saya, tim buzzer di medsos inilah yang akan bergerilya saat minggu tenang, untuk menggiring opini masyarakat,” jelas Alfitra.
Pilkada serentak 2020 yang digelar di tengah pandemi ini tantangannya bermacam-macam. Hal ini merupakan tantangan bagi para cakada untuk meyakinkan masyarakat pemilih. Calon kepala daerah diharapkan menjadikan tantangan tersebut sebagai momentun untuk kebangkitan daerah.
Alfitra kemudian memaparkan data DKPP sejak tahun 2012. Data mengkonfirmasi, hingga November 2020 DKPP telah memberikan sanksi pemberhentian tetap kepada 652 orang. Sedangkan ada sebanyak 58% yang direhabilitasi karena penyelenggara pemilu tidak terbukti melanggar kode etik.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi naik turunnya pengaduan ke DKPP. Pertama karena pemahaman masyarakat tentang DKPP sangat minim, pengetahuan tentang hal ini bergantung pada relasi masyarakat dengan pemegang kekuasaan. Dan, kedua tergantung budaya di daerah setempat. [Humas DKPP]