Mataram, DKPP − Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bekerjasama dengan Universitas Al Azhar (Unizar) menggelar ‘Seminar Nasional Penguatan Demokrasi dan Integritas Pemilu di Indonesia’ pada Sabtu (21/11/2020) pukul 10.00 WITA.
Seminar nasional ini adalah rangkaian kegiatan ketiga yag dilakukan Alfitra selama berada di Kota Mataram. Sebelumnya, Alfitra telah melakukan kunjungan media ke Lombok Post dan menjadi narasumber Ngetren Media DKPP.
Pilkada serentak 2020 akan dilaksanakan di tengah pandemi covid-19 pada 9 Desember mendatang, di sembilan provinsi dan 270 kabupaten/kota. Penyelenggaraannya dilakukan oleh tiga lembaga yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP ditambah Gugus Tugas Covid-19. Hal ini disampaikan Alfitra di hadapan mahasiswa peserta seminar nasional.
“Gugus tugas ini yang menentukan berjalan atau tidaknya pilkada. Semua rekomendasi kegiatan-kegiatan pilkada harus konsultasi dengan gugus tugas, Saya berharap teman-teman Bawaslu KPU harus secara intensif melakukan koordinasi dengan gugus tugas ini,” kata Alfitra.
Koordinasi dengan gugus tugas penting karena baik Pemerintah, Komisi II DPR, KPU, dan Bawaslu telah sepakat untuk tetap melaksanakan Pilkada serentak 2020 pada 9 Desember 2020 mendatang. Semua pihak berharap pilkada dapat berjalan lancar dan berintegritas meskipun tantangannya cukup serius.
Kemudian Alfitra menjelaskan tentang perspektif kelembagaan pemilu di Indonesia. Menurutnya, KPU adalah pelaksana murni pilkada. Di semua daerah KPU adalah institusi sentral yang akan menyelenggarakan pilkada di Indonesia. Di Indonesia sangat unik karena ada lembaga yang bernama Bawaslu sebagai lembaga pengawas. Keunikan lembaga ini karena jajaran lembaga pengawas ini ada di setiap level mulai dari TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai ke pusat.
“Jumlah pengawas pemilu hampir sama dengan jumlah penyelenggara. Kalau kita belajar organisasi biasanya lembaga pengawas personilnya cukup sedikit, tetapi di Indonesia jumlah lembaga pengawas hampir sama dengan jumlah penyelenggara Mengapa hal ini terjadi. Tidak lain adalah akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap KPU. Kita masih trauma dengan penyelenggara pemilu pada zaman Orde Baru,” jelasnya.
Alfitra mengungkapkan di zaman Orde Baru, yang menjadi Ketua KPU adalah Menteri Dalam Negeri. Ada trauma saat Orde Baru, di masa itu PNS sudah pasti Golkar dan mempunyai kartu tanda anggota (KTA). Pemilu pada zaman Orde Baru, pemilu belum dilaksanakan, tetapi hasilnya sudah ada. Berbeda dengan penyelenggara sekarang yang lebih independen, dipilih oleh DPR, masyarakat, dan disahkan oleh Presiden. Pemilu sekarang baru diketahui hasilnya minimal tiga jam usai pencoblosan.
Ketidakpercayaan kepercayaan yang tinggi inilah yang menjadi alasan penting keberadaan Bawaslu sebagai lembaga pengawas. Namun demikian, meski Bawaslu sudah berada pada tiap level, tetapi orang masih tidak percaya juga. Akhirnya lahirlah DKPP bertugas menjaga kemandirian, integritas dan kredibiltas
“Menurut saya berharap peran kampus sangat penting. Saya merekomendasikan universitas untuk membuat lembaga pemantau. Lembaga yang mengawasi penyelenggara termasuk peserta pilkada, agar pilkada benar-benar berkualitas,” lanjut Alfitra.
Kemudian Alfitra menjelaskan tugas dan wewenang DKPP sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 155 ayat (2) yakni DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU provinsi, anggota KPU kabupaten/kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu provinsi, dan anggota Bawaslu kabupaten/kota
Dalam delapan tahun usianya sejak tahun 2012, DKPP telah menerima sebanyak 4.068 pengaduan dan menyidangkan 1.727 perkara dugaan pelanggaran kode etik. Putusan DKPP memberikan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada 652 penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. DKPP juga telah merehabilitasi 3.510 penyelenggara yang tidak terbukti melanggar kode etik.
“Tugas DKPP adalah menjaga KPU dan Bawaslu tetap terhormat agar pilkada berjalan dengan baik berkualitas dan berintegritas. Meskipun DKPP hanya berada di pusat tetapi setiap hari menerima laporan dari masyarakat. Semua unsur masyarakat punya hak untuk melaporkan ke DKPP termasuk mahasiswa,” tegasnya.
Di akhir paparannya Alfitra berpesan pertama, kepada stake holder pemilu untuk tidak main-main dengan protokol kesehatan dan menjaga agar pilkada ini sehat. Kedua, terkait netralitas ASN. Jangan sampai ASN menjadi mesin politik bagi calon kepala daerah. termasuk untuk mengawasi bantuan bantuan sosial dan politik uang.
“Pilkada di tengah pandemi ini ada potensi yang mengancam yakni keterlibatan ASN sebagai mesin politik dan money politik. Hal ini bisa mengancam kualitas demokrasi,” pungkasnya.
Kegiatan yang digelar di Trawangan Ballroom Killa Hotel Senggigi ini menghadirkan narasumber Ir. H. Nanang Samodra, KA., M.Sc (Anggota DPR RI), Suhardi Soud, S.E., MM (Ketua KPU Prov. NTB) & Moderator, Dr. Ainuddin, SH., MH. [Humas DKPP]