Ambon, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI Alfitra Salam mengakui, pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19 memang sarat akan kekurangan jika dibandingkan dengan pilkada sebelumnya.
Namun, ia menilai bahwa pandemi memiliki sisi positif karena menghilangkan isu SARA yang biasanya mewarnai pilkada. Demikian disampaikan Alfitra dalam kegiatan Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu dengan Media (NGETREN Media) di Kota Ambon, Rabu (2/12/2020).
“Adanya COVID-19 di tengah kontestasi Pilkada serentak 2020 tentu memiliki sisi positif karena menghilangkan isu SARA di tengah masyarakat yang sering dimainkan elit politik dan berpotensi merusak demokrasi,” jelasnya.
Secara umum, Alfitra mengatakan bahwa pilkada sangatlah bertolak belakang dengan pandemi. Pilkada ini pun disebutnya sebagai paradoks karena menghilangkan sejumlah kebiasaan seperti kampanye masal dengan panggung musik dan keramaian lantaran adanya protokol kesehatan yang harus dilaksanakan.
“Berdasarkan kajian, dari cakada (calon kepala daerah_red), saat ini berkontestasi pada Pilkada di 270 daerah di Indonesia, hanya dua persen saja yang menggunakan media sosial untuk berkampanye pilkada. Sebab bisa saja mereka nilai kampanye langsung lebih efektif daripada via medsos,” bebernya.
Padahal menurutnya, belajar dari Pilpres 2019, medsos menjadi style utama kandidat capres dan tim yang mampu meraih simpati publik memenangkan kontestasi terutama pemilih muda atau milenial. Pasalnya keakraban masyarakat dan medsos sangat kuat.
“Ini pilkada yang sangat minimalis sekali. Tidak ada pilihan bagi masyarakat. Masyarakat di berbagai daerah tidak begitu antusias mengikuti pilkada mungkin karena faktor Covid-19 dan itu bisa berpengaruh pada kualitas demokrasi kita,” jelas Alfitra.
Selain itu diakuinya, ada atau tidaknya Covid-19, money politik bahkan masih menjadi ancaman bagi demokrasi Pilkada 2020.
Bahkan diperkirakan, Rp 30 triliun akan beredar selama Pilkada, artinya money politik semakin subur. Hal karena ada yang beranggapan sebagai rezeki dan kebutuhan untuk masyarakat.
“Belajar dari fenomena tiap pilkada, diperkirakan minggu tenang akan dijadikan serangan senyap dan mobilisasi ASN oleh petahana. Mobilisasi sangat mudah serta jadi instrumen kepala daerah. Bahkan Bawaslu sulit kontrol sebab terbatas SDM dan menunggu laporan. Hal lain terkait bansos yang kadang jadi alat ampuh raih simpati di pilkada,” pungkasnya. [Humas DKPP]