Ternate, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Dr. Alfitra Salamm mengisi Kuliah Umum Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) dengan tema “DKPP dan Konstitusional Etik” di lantai 3 Gedung Rektorat UMMU, pada Sabtu (21/12/2019).
Kuliah umum ini diikuti oleh mahasiswa dari FH UMMU, serta para undangan yang meliputi perwakilan partai politik, YBH Sipakale, dan sejumlah penyelenggara pemilu dari Provinsi Maluku Utara.
Mengawali paparannya, Alfitra menyampaikan bahwa demokrasi sebagai instrumen menuju kesejahteraan rakyat. Menurutnya, demokrasi harus sejalan dengan hukum dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Berbicara demokrasi, kata Alfitra, akan berujung pada pemilu sebagai perwujudan dari kekuasaan yang berasal dari rakyat. Rakyat menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon presiden, wakil presiden dan anggota parlemen.
“Inti dari pemerintahan berawal dari Pemilu, dan pemilu merupakan bidan yang melahirkan para pemimpin,” tutur Alfitra.
Menurut Alfitra, tidak akan ada seseorang yang menjadi presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau walikota dan wakil walikota tanpa adanya Pemilu. Penyelenggaraan Pemilu ini melibatkan jajaran penyelenggara Pemilu yang terdiri dari KPU, Bawaslu, dan DKPP yang menjadi satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.
Ia menambahkan bahwa Pemilu Serentak 2019 yang dilaksanakan pada 17 April 2019 memiliki problematika dan perlu dilakukan evaluasi.
Alfitra menilai, keserentakan ini perlu dievaluasi karena isu-isu strategis yang berkaitan dengan penyelenggara, khususnya kompetensi SDM serta terganggunya kredibiltas dan integritas. Hal ini terutama untuk jajaran penyelenggara tingkat ad hoc, yang banyak menimbulkan permasalahan.
“Kita ketahui bersama jika mencari penyelenggara ad hoc sulit, sehingga ada (orang) langganan jadi KPPS. Sementara hulu pemilu ada di KPPS,” jelas Alfitra.
Jika dari hulunya saja salah, lanjutnya, maka akan timbul banyak kesalahan lain dalam pelaksanaan Pemilu. Salah satu solusi permasalahan SDM ini dengan bergandengan tangan dengan mahasiswa.
“Ada bentuk KKN pilkada atau pilpres, dan yang menjadi KPPS adalah mahasiswa,” ucap Ketua Umum AIPI ini.
Kemudian, banyaknya korban yang meninggal, tidak ada istirahat, bekerja tanpa henti pasca pemungutan. Solusinya harus ada pergantian shift sehingga ada jeda waktu untuk istirahat.
Berikutnya, terkait regulasi yang lemah, tekanan politik, harus bekerja tepat waktu dengan beragam formulir yang harus diinput. Solusinya dengan menyederhanakan birokrasi Pemilu.
Permasalahan berikutnya terkait dualisme parpol, masa kampanye yang terlalu lama, logistik yang tersentralisasi, dan politik uang. Biaya politik besar sebab masing-masing calon.
Akan tetapi, lanjut dia, dari semua problematik keserentakan ini, kita juga patut menyadari bshwa keserentakan membawa dampak positif, di antaranya terkait biaya, partisipasi pemilih meningkat meskipun caleg tidak dikenal dibandingkan capres. Kita harus cukup berbangga dengan Pemilu serentak ini yang melibatkan 192jt lebih partisipan.
“Jika tidak serentak, maka hampir setiap minggu ada pilkada, dan ini menggangu proses kesinambungan pembangunan daerah. Terlalu seringnya pilkada, maka proses keributan menonjol sekali, noisy demokrasi. Demam politik tiap minggu, dan kelelahan bagi pemilih. Keserentakan juga mempermudah kalender ketatanegaraan, sinkronisasi perencanaan, dan proses agenda pembangunan,” tutur dia.
Alfitra juga berpesan, menghadapi dalam Pilkada 2020, agar para penyelenggara jangan sampai menjadi mesin politik peserta atau calon. Integritas, netralitas harus diperhatikan, terutama jajaran ad hoc.
Di akhir paparannya, Alfitra menyampaikan sanksi-sanksi bagi penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar KEPP, meliputi teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap. Berdasarkan data yang dihimpun Sekretariat DKPP, provinsi dengan jumlah aduan terbanyak adalah Provinsi Papua, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.[Humas DKPP]