Pontianak, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar acara Ngetren Media (Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu dengan Media) di Kota Pontianak pada Minggu (29/11/20) malam. Narasumber acara yang dihadiri awak media di Kota Pontianak ini yakni, Anggota DKPP Dr. Alfitra Salamm, Tim Pemeriksa Daerah(TPD) unsur masyarakat, Umi Rifdiyawati dan Sekretaris IJTI Kalimantan Barat, Faisal Abubakar dengan moderator Kasubbag Pengelolaan Infrastruktur dan TI DKPP, Erwin Siagian.
Dalam pengantarnya, Alfitra mengungkapkan bahwa Kabupaten Ketapang adalah daerah legendaris karena pada tahun 2015 pernah ada laporan sebanyak 150 penyelenggara pemilu di tingkat ad hoc yang dilaporkan. Dia juga mengatakan bahwa Kabupaten Ketapang masuk daerah yang kategori kepatuhan etik cukup tinggi, hal ini dibuktikan dengan sedikitnya laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik yang berasal dari daerah ini.“Ketapang ini sepi pengaduan, mudah-mudahan ini karena tingkat kepatuhan etiknya cukup bagus dan bukan karena pengetahuan masyarakat tentang lembaga DKPP masih kurang,” kata Alfitra.
Lanjut Alfitra menjelaskan tentang tugas dan fungsi DKPP. Sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tugas DKPP Pasal 159 Ayat (1) adalah menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu; dan melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Data yang diolah Sekretariat DKPP mengkonfirmasi, hingga Novemver 2020, DKPP telah memberhentikan tetap sebanyak 652 penyelenggara pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Sanksi pemberhentian tetap ini adalah upaya DKPP dalam menjaga martabat penyelenggara pemilu.
“DKPP ingin masyarakat percaya KPU dan Bawaslu berintegritas dan DKPP tidak ingin dua lembaga ini menjadi mesin politik para calon,” kata Alfitra lagi.
Terkait penyelenggaraan Pilkada serentak 2020, menurut Alfitra selain asas luber jurdil, pilkada yang digelar di tengah pandemi ini perlu ditambah satu asas lagi yakni sehat. Hal ini karena sudah banyak penyelenggara pemilu yang terpapar Covid-19.
Alfitra juga mengungkapkan keprihatinannya karena demokrasi akan terdegradasi akibat politik uang dalam pilkada. Politik uang yang selalu terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemilu ini, menurut dia harus dipersempit ruang geraknya.
“Politik uang, mobilisasi ASN, dan bansos adalah elemen yang bisa digunakan sebagai mesin untuk memenangkan paslon. Di berbagai tempat yang pernah saya datangi, saya bertanya kepada masyarakat di sana, pilih siapa pak? dan mereka jawab “saya mah pilih yang ngasih uang aja”. Ini saya kira sangat memprihatinkan, masyarakat lebih memilih uang dari pada memilih pemimpinnya yang berkualitas,” lanjut Alfitra.
Alfitra berpesan kepada pengawas pemilu untuk mempersempit ruang gerak politik uang ini, meskipun sudah ada regulasi terkait hal ini dan jangan sampai pilkada ini hanya menjadi stempel saja utk para paslon menjadi kepala daerah.
“Saya juga berpesan kepada teman media, untuk meluruskan berita hoaks yang beredar. Saya yakin banyak berita hoax yang beredar menjelang pilkada, maka saya berpesan kepada teman-teman media untuk bisa meluruskan. Meluruskan hoaks ini memang agak sulit, apalagi harus dengan gerak cepat. Jangan sampai berita yang ibaratnya sudah bengkok, malah diperparah lagi,” pungkasnya.
Di akhir paparannya, Alfitra mengimbau KPU untuk menyiapkan emergency plan saat pilkada nanti karena Kalimantan Barat seringkali dilanda bencana alam, terutama banjir. [Humas DKPP]