DKPP, Medan – Peserta bimbingan teknik mendapatkan pemahaman tentangan alat bukti versi KUHAP dan versi DKPP. Hal tersebut terungkap dalam sesi Tata Cara Melakukan Pemeriksaan Administrasi Laporan Pengaduan Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Jumat (18/10). Fasilitator Imam Suhodo (Bareskrim Mabes Polri), dan narasumber Ida Budhiati Anggota DKPP eks officio KPU.
Peserta dari acara Bimtek ini pesertanya terdiri atas penyelenggara Pemilu di lima Provinsi; KIP Aceh, Bawaslu dan KPU Jambi, KPU dan Bawaslu Sumatera Barat, KPU dan Bawaslu Sumatera Utara dan KPU dan Bawaslu Riau.
Imam Suhodo menjelaskan, alat bukti yang sah menurut KUHAP Pasal 184 ayat 1; pertama, keterangan saksi. Kedua, keterangan ahli. Ketiga, surat. Keempat, petunjuk. Kelima, keterangan terdakwa.
“Pembuktiannya di Indonesia menganut Negatif Wettelijk Stelsel. Yaitu, alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk membuktikan. Hal ini berarti di luar ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti,” jelas dia.
Kemudian, lanjut dia, alat bukti menurut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Pasal 7 ayat 2 Pedoman Beracara DKPP menjelaskan yang menjadi kriteria alat bukti; pertama, Keterangan saksi. Kedua, keterangan ahli. Ketiga, surat atau tulisan. Keempat, petunjuk. Kelima, keterangan para pihak. Terakhir, data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi .
“Fungsi barang bukti adalah menguatkan kedudukan alat bukti yang sah. Kedua, mencari dan menemukan kebenaran materil atas perkara sidang yang ditangani. Ketiga, setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan majelis sidang DKPP atas kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu,” jelas dia. (ttm)