Jakarta,
DKPP- Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) per
hari ini, Jumat (10/3), telah menerima sebanyak 163 pengaduan dugaan
pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Semua pengaduan tersebut berkaitan
dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017. Hal itu
disampaikan oleh Ketua DKPP Prof Jimly Asshiddiqie dalam konferensi pers di
ruang sidang DKPP, Jakarta.
Prof Jimly menyebut,
salah satu faktor yang memengaruhi banyaknya pengaduan ke DKPP adalah adanya
penolakan atau kegagalan para pengadu untuk maju ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Seperti diketahui, undang-undang Pilkada secara ketat membatasi persyaratan
gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) ke MK. Gugatan ke MK
mempertimbangkan jumlah penduduk di daerah setempat dengan persentase hanya 0,5
persen sampai 2 persen.
“Banyak kandidat yang
gagal maju ke MK karena batas selisih yang dipersyaratkan sangat ketat. Mereka
yang gagal merasa tidak puas, akibatnya DKPP menjadi pelampiasan,†ungkap Prof
Jimly didampingi Anggota DKPP Saut Hamonangan Sirait dan Kepala Biro DKPP
Akhmad Khumaidi.
Selain karena faktor
kegagalan di MK, menurut Prof Jimly, ada juga pengadu yang secara paralel
mengadukan ke dua lembaga itu dengan harapan bisa menang dua-duanya. Kalaupun
salah satu kalah masih ada harapan di satu lembaga lagi. Hal inilah yang
menyebabkan kenapa sekarang pengaduan ke DKPP jauh lebih banyak dibanding
pengaduan ke MK. Dari data diketahui, sampai batas akhir pengajuan PHP terkait
Pilkada 2017, MK hanya menerima 48 laporan.
“Saya sampaikan, DKPP
ini pegawainya tak lebih dari 40 orang. Tapi insya Allah kami bisa menanganinya
dengan baik,†tutur Prof Jimly.
Soal ketatnya aturan
gugatan PHP di MK, menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia
ini tak lepas dari pola pikir (mindset)
yang memahami peradilan hanya berkait dengan soal kalah dan menang. Termasuk
para hakim, katanya, juga pola pikirnya kebanyakan seperti itu. Pembatasan di
MK bisa jadi cukup logis karena mempertimbangkan antara jumlah putusan dengan
batas waktu penanganannya yang hanya 45 hari. Tujuannya untuk menjamin
keseriusan dan kualitas putusan yang dihasilkan.
Bagi Prof Jimly,
harus ada pemahaman bahwa fungsi peradilan adalah sebagai kanal atau sarana
penyelesaian masalah (conflict resolution).
Bagi dia, negara harus hadir dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah,
bukan justru membatasi. Kalau itu diteruskan, hal tersebut tidak sehat untuk
negara demokratis yang menjunjung keadilan sosial seperti di Indonesia.
“Saya katakan seperti
ini bukan karena DKPP kebanjiran perkara. Kami senang saja, karena ini
kesempatan untuk mengabdi pada negara,†tambah Ketua MK periode 2003-2008.
(Arif Syarwani)