Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bagi Profesor Dr. Teguh Prasetyo, SH., M.Si., bukan hanya menjadi lembaga yang mengawasi penegakan kode etik terhadap personel Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya. Guru Besar Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang telah menerbitkan karya berupa 31 buah buku ini menginginkan DKPP juga bisa menjadi pusat kajian yang memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Salah satu caranya, dengan menyiapkan informasi menyeluruh di situs resmi DKPP.
“Website harus dibuat selengkap mungkin, ada tracking terkait dengan kasus,” kata Teguh Prasetyo. Memang, situs resmi DKPP menjadi salah satu sarana yang paling mendekatkan lembaga itu dengan masyarakat. Tak cukup hanya lengkap, situs juga harus menarik perhatian pembacanya.
Terpilih menjadi satu dari tiga komisioner DKPP hasil uji kelayakan dan kepatutan di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Teguh meyakini DKPP bisa memberi contoh ihwal proses peradilan yang cepat, murah, tapi juga tetap menjaga asas peradilan. Dosen yang malang melintang mengajar di berbagai kota seperti Salatiga, Medan, Balikpapan, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya ini menilai DKPP sebagai lembaga yang mulai bekerja menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2012 dan Pemilihan Umum 2014 memiliki landasan kuat untuk menjadi lembaga penegak kode etik sekaligus pusat kajian.
Bukan perkara yang mudah untuk menjadi pusat kajian. Apalagi, sumber daya manusia yang dimiliki DKPP masih sangat terbatas. Total hanya 65 personel baik organik maupun non-organik berkantor di DKPP. Tapi Teguh optimistis DKPP bisa menjalankan fungsi tersebut. “Staf meski Cuma sedikit tapi lebih mudah dikembangkan karena modalnya sudah bagus,” begitu keyakinan Teguh.
Latar belakang sebagai akademisi memang membuat Teguh kerap berpikir bagaimana hukum bisa tetap terjaga, adil, dan sekaligus bermartabat. Teguh—beragama Kristen tapi tak segan menempuh program doktoral di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta— bahkan menerbitkan buku yang berjudul Hukum Islam memjawab tantangan jaman yg berkembang dinamis—kemudian mencoba mengembangkan konsep keadilan yang bermartabat. “Dalam bahasa Inggrisnya, dignified justice, yaitu keadilan yang memanusiakan manusia,” Teguh menjelaskan.
Konsep ini berulang kali disosialisasikan Teguh, bahkan hingga ke luar negeri. Berbagai tulisan soal keadilan bermartabat—mengacu pada sila kedua Pancasila, “kemanusiaan yang adil dan beradab”—dimuat di tujuh jurnal internasional. Dia pun diundang oleh Fakultas Hukum Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda, salah satu kampus papan atas di sana. Tiga guru besar beserta para mahasiswa program master dan doktor di Vrije berdiskusi dengannya.
Teguh menilai konsep keadilan bermartabat juga bisa diterapkan oleh DKPP. Caranya, dengan mengambil posisi yang strategis dan pas terhadap para teradu ketika berperkara. “DKPP harus bisa memberikan porsi yang seadilnya dan seutuhnya. Itulah yang harus kita gagas dan perjuangkan,” katanya.
Peran DKPP tersebut, kata Teguh, bakal lebih lancar dengan dukungan para staf. Dia mendukung setiap kegiatan yang bertujuan meningkatkan kapasitas staf DKPP. “Tanpamu, aku tak bisa berbuat apa-apa,” ujar Teguh.
Dr. Ida Budhiati, S.H., M.H., menjadi anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu paling senior. Bukan dari segi usia, karena umur perempuan asal Semarang itu pada 23 November lalu baru 46 tahun. Melainkan dari masa jabatan di DKPP, Ida menjabat sejak 2012 atau saat kepemimpinan Profesor Jimly Asshiddiqie. Kala itu dia merupakan perwakilan Komisi Pemilihan Umum, dan sekarang perwakilan masyarakat yang dipilih pemerintah.
Ikut mengadili berbagai kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu, peraih master hukum dari Universitas Diponegoro Semarang itu ikut berperan dalam menentukan nasib personel KPU dan Bawaslu dari pusat hingga daerah. Sejak DKPP dibentuk pada 2012 hingga akhir Oktober 2017, DKPP sudah menyidangkan 903 perkara. Hasilnya, 449 penyelenggara pemilu diberhentikan tetap, 1968 direhabilitasi dan 45 orang diberhentikan sementara.
Menurut Ida, pemberian sanksi itu bukan merupakan prestasi DKPP. Justru, lebih menunjukkan perlunya perbaikan mekanisme seleksi oleh penyelenggara pemilu. Terutama, di tingkat kabupaten dan kota. “Data menunjukkan, yang paling banyak diadukan itu di level kabupaten atau kota,” katanya.
Dia mencontohkan, ada 17 pengaduan terhadap penyelenggara pemilu di Tolikara, Papua. Tapi, DKPP tidak sembarangan menjatuhkan sanksi. Tiadanya bukti pelanggaran membuat DKPP tak memberi sanksi ke penyelenggara pemilu tersebut. Lain waktu, DKPP terpaksa memberhentikan penyelenggara pemilu di Jayapura, Papua. Tak lama setelah penyelenggara baru terpilih, DKPP juga memberi sanksi pemecatan karena penyelenggara yang baru terbukti melanggar kode etik.
Mantan anggota KPU Jawa Tengah itu menilai pengaduan dugaan pelanggaran kode etik bisa dihindari jika penyelenggara pemilu mampu bekerja dengan penuh integritas. “Integritas itu berarti bekerja secara profesional, mandiri, cermat, teliti, jujur, dan adil,” katanya.
Banyaknya pengaduan, ujar Ida, menunjukkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu. Karena itu, penyelenggara pemilu perlu membangun kepercayaan masyarakat sehingga hasil pemilu bisa diterima dengan lapang dada. Selama ini, pengaduan DKPP dilakukan setelah seluruh upaya hukum, seperti sengketa ke Mahkamah Konstitusi, tidak berhasil.
Kandidat doktor hukum dari Universitas Diponegoro dengan promotor mantan Ketua MK Mohammad Mahfud Md. itu menilai Pemilihan Umum 2019 bakal memberi tantangan lebih untuk penyelenggara pemilu dan juga DKPP. Tantangan itu berbeda dibandingkan pemilu sebelumnya. Sebabnya, penyelenggara juga menghadapi Pilkada Serentak 2018, dan ada desain baru penyelenggaraan pemilu legislatif serta pemilu presiden secara serentak.
“Jadi aspek regulasinya tentu banyak berubah, demikian juga tata kelola manajemen penyelenggaraan pemilunya,” ujar perempuan yang cukup lama menggeluti profesi sebagai pengacara publik ini. Toh Ida berulang kali menyampaikan agar para penyelenggara pemilu tak perlu cemas. Yang terpenting, mereka tetap cermat dan teliti dalam mengambil keputusan. Termasuk, terbuka terhadap publik dan siap memberi penjelasan atas apa yang dikerjakan.
Tantangan serupa juga berlaku untuk DKPP. Ida menilai bakal ada banyak laporan menjelang akhir tahun karena tahapan pilkada dimulai pada Juni 2017. “Kita semua harus bergerak cepat,” katanya.
“Wujudkan Pemilu Berintegritas”
Bagi Profesor Dr. Muhammad, SIP, M.Si, pemilu yang berintegritas menjadi salah satu ukuran utama demokrasi suatu negara. Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia periode 2012-2017 ini meyakini, pemilu yang berintegritas salah satunya ditentukan oleh penyelenggara pemilu yang juga berintegritas.
Menurut Muhammad, selalu ada potensi penyelenggara pemilu melenceng dari tugas dan kewajibannya serta memihak peserta pemilu. “Bagaimanapun, penyelenggara pemilu adalah manusia biasa. Ada sisi baik dan potensi jahat pada diri mereka,” katanya suatu kali.
Toh Muhammad menilai tak perlu ada kekhawatiran berlebihan terhadap integritas penyelenggara pemilu. Sebabnya, ada lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang menegakkan kode etik bagi para anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu hingga ke level bawah. “DKPP tidak akan segan menjatuhkan sanksi pemecatan untuk anggota Bawaslu serta KPU dan jajarannya yang terbukti melanggar kode etik,” katanya.
Doktor Ilmu Politik yang tamat dari Universitas Airlangga, Surabaya, ini berpendapat, integritas penyelenggara pemilu juga harus didukung oleh regulasi yang jelas dan tegas, peserta pemilu yang kompeten, serta birokrasi yang netral. Sayangnya, kata Muhammad, aturan pemilu di Indonesia kerap abu-abu sehingga berpotensi menimbulkan berbagai persoalan.
Dia mencontohkan, para peserta pemilu kerap menggunakan istilah “sosialisasi” untuk menghindari tudingan kampanye di luar aturan. “Regulasi pemilu itu harus tegas dan jelas, hitam-putih, tidak boleh abu-abu. Harusnya ke depan pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang bisa memperbaiki hal ini,” kata Muhammad.
Lahir di Makassar, 17 September 1971, suami dari Lubena Umar Alahaddad ini memang menaruh perhatian pada pemilu yang berintegritas. Kiprahnya di bidang politik dan terutama pemilu, sudah berjalan lama. Dia menjabat Ketua Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin, Makassar, periode 2010-2012. Muhammad menjabat Ketua Panitia Pengawas Pemilu Provinsi Sulawesi Selatan pada Pemilihan Umum 2009. Tiga tahun kemudian, Komisi II DPR memilihnya sebagai komisioner Bawaslu RI dengan suara terbanyak.
Usianya masih 43 tahun saat Universitas Hasanuddin mengukuhkan gelar guru besar kepada Muhammad pada 28 Februari 2015. Kala itu, Muhammad membacakan pidato ilmiah berjudul “Mewujudkan Akuntabilitas Pemilihan Umum yang Berkualitas dan Berintegrasi melalui Transformasi Sistem Pemilihan Umum”. Sejumlah tokoh seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dan Ketua Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy ikut menghadiri pengukuhan tersebut.
Muhammad juga pernah mendapat penghargaan Satyalancana Karya Satya X yang menandai kesetiaannya menjadi pegawai negeri sipil. Empat hari menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia ke-70, Presiden Joko Widodo menganugerahi Muhammad Tanda Kehormatan Bintang Penegak Demokrasi di Istana Presiden. Penghargaan itu diberikan bagi mereka yang dianggap berjasa di bidang sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bidang lain yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. “Di manapun saya bertugas, saya akan coba memberikan yang terbaik,” kata Muhammad. [***]