Pria kelahiran Boyolali, 5 Juni 1960 ini merupakan wartawan senior di tanah air. Mengawali karir sebagai ‘kuli tinta’ di Majalah Tempo pada 1987 – 1994. Karir Heddy Lugito bekembang pesat setelah pindah ke Majalah Gatra pada 1994. Sejumlah posisi pernah diembannya, mulai dari Staf Redaksi (1994 – 1996), Redaktur (1996 – 1999), Redaktur Pelaksana (1999
Muhammad Tio Aliansyah lahir di Jakarta, 9 September 1974. Ia tumbuh besar dan meniti karir di Provinsi Lampung. Suami dari Renny Cynthya Dewi ini memiliki semangat berorganisasi sejak menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Muhammadiyah Kotabumi. Di kampus itu, ia pernah menjadi Ketua Keluarga Pecinta Alam (Katala) dan Ketua Senat Mahasiswa. Pria yang akrab
“Srikandi Pemilu dari Timur” adalah julukan yang pantas disandangkan kepada Ratna Dewi Pettalolo. Perempuan kelahiran Palu, 10 Juni 1967 ini sudah berkecimpung di dunia kepemiluan sejak tahun 2009. Dimulai dengan menjabat sebagai Ketua Panwas Pemilu Kota Palu. Kinerjanya telah teruji dengan sejumlah pemilu, antara lain Pemilu Tahun 2009, Pilkada Kota Palu Tahun 2010, dan Pilkada
Peneliti kawakan, akademisi, dan penulis. Tiga profesi ini adalah representasi Dari J. Kristiadi. Sejak lahir pada 24 Maret 1948, J. Kristiadi tumbuh dan mengenyam pendidikan di Yogyakarta pada tahun 1976. Nama besarnya telah dirintis sejak 1983, saat ia memulai menjadi peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Di lembaga think thank ini, J. Kristiadi
I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi lahir di Desa Yeh Sumbul, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, pada 21 November 1970. Pria yang akrab disapa Raka Sandi ini tumbuh besar di Kabupaten Jembrana. Raka Sandi mendapat gelar Sarjana Teknik Kimia di Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, pada 1999. Setelah lulus dari UGM, ia bergelut di
Yulianto Sudrajat, S.Sos., M.Ikom, Pria kelahiran Sukoharjo, 9 Juli 1973 ini adalah alumnus Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah. Saat menjadi mahasiswa tahun 1993, Yulianto aktif sebagai Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan llmu Komunikasi FISIP Universitas Slamet Riyadi, Surakarta. Julianto juga tercatat aktif di beberapa kegiatan organisasi
Ibu tiga orang anak ini kelahiran Cianjur, 28 Februari 1978 ini bukan orang baru di dunia kepemiluan. Ia pernah menjabat sebagai Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Barat sekaligus Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Jawa Barat. Lolly menjadi satu-satunya perempuan terpilih sebagai Anggota Bawaslu RI periode 2022-2027 yang dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 12
Saya Mau Menegakkan Kode Etik Meski tidak asing dengan dunia kepemiluan, Didik Supriyanto seperti ‘mimpi di siang bolong’ saat menerima selembar surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 30/P Tahun 2020 yang menunjuk dirinya sebagai Anggota DKPP menggantikan Dr. Harjono untuk sisa masa bakti 2017-2022. “Saya tidak pernah ditanya, tidak pernah ditawari, dan tidak pernah dikabari. Tahu-tahu
PUTUSAN Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dipandang Dr. H. Alfitra Salamm, APU, bukan hanya sebagai sanksi atau rehabilitasi. Alfitra menilai sanksi yang diberikan kepada jajaran Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu harus bisa menjadi pelajaran. “Agar kesalahan-kesalahan itu tidak terulang lagi,” ujar mantan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga ini.
Menurut dia, persoalan dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu di suatu daerah sangat mungkin terjadi juga di tempat lain. Maka sanksi bukan hanya menjadi pelajaran bagi mereka yang disidang di DKPP, melainkan pelajaran pula bagi penyelenggara lain. Sangat baik jika penyelenggara pemilu di semua daerah mencermati keputusan DKPP. “Penyelenggara pemilu bisa mencegah pelanggaran serupa terjadi di daerahnya,” katanya lagi.
Alfitra menilai semua sidang yang digelar DKPP sangat strategis sebagai bahan pembelajaran. Karena itu, dia berharap putusan sidang bisa disosialisasikan kepada seluruh penyelenggara pemilu hingga lapisan terbawah.
Lahir di Rengat, Riau, pada 18 Maret 1959, Alfitra terpilih sebagai anggota DKPP melalui jalur uji kelayakan dan kepatutan di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Squash Indonesia dan Ketua Umum Badan Pembina Korps Pegawai Republik Indonesia ini menamatkan jurusan hubungan internasional di Universitas Gadjah Mada pada 1982. Alfitra meraih gelar doktor ilmu politik dari University Kebangsaan Malaysia pada 1997.
Karirnya sebagai birokrat banyak dihabiskan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pada 2002, Alfitra mendapat gelar Ahli Peneliti Utama. Pada 2008-20010, dia menjabat Staf Khusus dan Staf Ahli Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal. Pada 2010, Alfitra dipercaya menjadi Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga. Empat tahun kemudian, dia menjadi orang nomor dua di Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan menjadi Sekretaris Jenderal.
Tepat pada 2013, setelah 30 tahun malang melintang sebagai birokrat, Alfitra dianugerahi penghargaan Satyalancana Karya Satya XXX. Alfitra sadar betul, kinerja DKPP sangat ditunjang oleh peran Sekretariat. Ketua Umum Badan Pembina Korps Pegawai Republik Indonesia ini menilai jajaran staf ikut menguatkan peran DKPP sebagai penjaga kode etik penyelenggara pemilu. “Secara umum pelayanan DKPP sudah baik. Jika dinilai, skornya kira-kira 8,5 sampai 9,” kata Alfitra.
Yang menjadi perhatian Alfitra adalah bagaimana DKPP bisa bekerja lebih cepat lagi. Salah satunya dengan meningkatkan pengaduan online dan lebih dekat lagi dengan masyarakat. Alfitra percaya melalui sosialisasi kesadaran para penyelenggara pemilu dapat ditingkatkan agar mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kode etik sehingga proses penyelenggaraan Pilkada tetap berkualitas dan kepercayaan publik terhadap proses serta hasil Pilkada pun tetap terjaga. “Semakin sedikit pengaduan, maka proses penyelenggaraan pemilu di tanah air bisa dinilai berintegritas dan berkualitas,” tegasnya.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bagi Profesor Dr. Teguh Prasetyo, SH., M.Si., bukan hanya menjadi lembaga yang mengawasi penegakan kode etik terhadap personel Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya. Guru Besar Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang telah menerbitkan karya berupa 31 buah buku ini menginginkan DKPP juga bisa menjadi pusat kajian yang memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Salah satu caranya, dengan menyiapkan informasi menyeluruh di situs resmi DKPP.
“Website harus dibuat selengkap mungkin, ada tracking terkait dengan kasus,” kata Teguh Prasetyo. Memang, situs resmi DKPP menjadi salah satu sarana yang paling mendekatkan lembaga itu dengan masyarakat. Tak cukup hanya lengkap, situs juga harus menarik perhatian pembacanya.
Terpilih menjadi satu dari tiga komisioner DKPP hasil uji kelayakan dan kepatutan di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Teguh meyakini DKPP bisa memberi contoh ihwal proses peradilan yang cepat, murah, tapi juga tetap menjaga asas peradilan. Dosen yang malang melintang mengajar di berbagai kota seperti Salatiga, Medan, Balikpapan, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya ini menilai DKPP sebagai lembaga yang mulai bekerja menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2012 dan Pemilihan Umum 2014 memiliki landasan kuat untuk menjadi lembaga penegak kode etik sekaligus pusat kajian.
Bukan perkara yang mudah untuk menjadi pusat kajian. Apalagi, sumber daya manusia yang dimiliki DKPP masih sangat terbatas. Total hanya 65 personel baik organik maupun non-organik berkantor di DKPP. Tapi Teguh optimistis DKPP bisa menjalankan fungsi tersebut. “Staf meski Cuma sedikit tapi lebih mudah dikembangkan karena modalnya sudah bagus,” begitu keyakinan Teguh.
Latar belakang sebagai akademisi memang membuat Teguh kerap berpikir bagaimana hukum bisa tetap terjaga, adil, dan sekaligus bermartabat. Teguh—beragama Kristen tapi tak segan menempuh program doktoral di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta— bahkan menerbitkan buku yang berjudul Hukum Islam memjawab tantangan jaman yg berkembang dinamis—kemudian mencoba mengembangkan konsep keadilan yang bermartabat. “Dalam bahasa Inggrisnya, dignified justice, yaitu keadilan yang memanusiakan manusia,” Teguh menjelaskan.
Konsep ini berulang kali disosialisasikan Teguh, bahkan hingga ke luar negeri. Berbagai tulisan soal keadilan bermartabat—mengacu pada sila kedua Pancasila, “kemanusiaan yang adil dan beradab”—dimuat di tujuh jurnal internasional. Dia pun diundang oleh Fakultas Hukum Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda, salah satu kampus papan atas di sana. Tiga guru besar beserta para mahasiswa program master dan doktor di Vrije berdiskusi dengannya.
Teguh menilai konsep keadilan bermartabat juga bisa diterapkan oleh DKPP. Caranya, dengan mengambil posisi yang strategis dan pas terhadap para teradu ketika berperkara. “DKPP harus bisa memberikan porsi yang seadilnya dan seutuhnya. Itulah yang harus kita gagas dan perjuangkan,” katanya.
Peran DKPP tersebut, kata Teguh, bakal lebih lancar dengan dukungan para staf. Dia mendukung setiap kegiatan yang bertujuan meningkatkan kapasitas staf DKPP. “Tanpamu, aku tak bisa berbuat apa-apa,” ujar Teguh.