Depok, DKPP- Setelah 20 tahun reformasi dengan serangkaian format dan eksperimen demokrasi, pemilu di Indonesia masih dikritik dalam banyak aspek. Masalah yang terjadi pada pemilihan presiden dan legislatif pada bulan April 2019, misalnya, menyoroti aspek kritis pemilu Indonesia. Namun disisi lain, hal ini memberikan ruang perbaikan bagi kualitas demokrasi yang lebih baik ke depannya.
Salah satu masalah adalah kecenderungan ke arah kapitalisasi politik identitas di antara kelompok-kelompok beragama yang mengarah pada polarisasi pendukung dua calon presiden berdasarkan identitas agama. Masalah ini cenderung menurunkan tingkat toleransi terhadap perbedaan dalam masyarakat.
Masalah-masalah lain terkait dengan demokrasi pemilu Indonesia dan kontribusinya terhadap tata kelola pemerintahan sebagaimana digambarkan dalam uraian singkat di atas merupakan latar belakang hadirnya anggota DKPP, Prof Muhammad bergabung sebagai panelis untuk memberikan kontribusi positif bagi transformasi yang sedang berlangsung di Indonesia dan kontribusi untuk pengetahuan dalam ilmu politik.
Sebelum menyampaikan paparannya, Prof. Muhammad menyampaikan apresiasi atas inisiatif Universitas Indonesia menyelenggarakannya acara Biannual International Conference on Indonesian Politics and Goverment (BICOIPG) 2019, Rabu 10/7 di Savero Hotel Depok.
“Survei LIPI memperlihatkan tingkat kepercayaan publik terkait evaluasi pemilu jika dilakukan oleh perguruan tinggi nilainya masih 80 persen”, Muhammad mengawali.
“Kami penyelenggara pemilu siap dikritik dan dievaluasi, apalagi Pemilu 2019 lalu adalah pemilu yang paling rumit bahkan di semua negara yang melaksanakan proses pemilu”, lanjutnya.
Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga yang bertugas menjaga integritas, kredibilitas dan kemandirian penyelenggara pemilu telah berupaya memberikan muatan kode etik dalam penyelenggaraan pemilu.
Lanjutnya lagi, ada lima hal yang menjadi syarat bagi terwujudnya pemilu yang demokratis yakni, regulasi yang jelas dan tegas, peserta pemilu yang taat aturan, pemilih yang cerdas dan partisipatif, birokrasi netral, dan penyelenggara yang kompeten dan berintegritas.
Terkait regulasi yang jelas dan tegas, Muhammad mencontohkan bahwa saat ini sudah semakin jelas peraturan tentang sosialisasi atau kampanye, politik uang atau biaya kampanye. Regulasi yang jelas dan tegas adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar.
“KPU punya ideologi prosedural, Bawaslu punya ideologi subtansial, DKPP mengawinkan alasan-alasan prosedural dan subtansial itu melalui kode etiknya. Pesan Komisi 2, prioritas evaluasi undang-undang pemilu adalah agar apa yang abu-abu atau yang bisa berakrobat harus dibuat jelas”, tambahnya.
Peserta pemilu yang taat aturan dijabarkan Muhammad dengan persidangan di DKPP bahwa secara terang benderang peserta pemilu “menggoda” penyelenggara terutama di tingkat adhoc.
“Regulasi DKPP di era pak Harjono (DKPP periode 2017-2022-red), untuk urusan penyelenggara adhoc kami melakukan speed control. Maksudnya untuk penyelenggara di tingkat kecamatan ke bawah langsung diselesaikan oleh KPU/Bawaslu, tugas DKPP hanya menangani untuk tingkat kabupaten dan provinsi”, jelasnya.
Ketua Bawaslu periode 2012-2017 ini sangat menyayangkan masyarakat pemilih. Dia menguraikan dari hasil penelitian di desa 60 persen warganya permisif terkait politik uang.
“Kalau di kota ada istilah NPWP, nomor piro wani piro tapi di desa lebih nyata lagi dengan dipasangnya spanduk di gerbang masuk desa bertuliskan, ‘warga desa xxx siap menerima politik uang’”, sesalnya.
“Ini adalah PR untuk kita semua bagaimana pemilih rasional lebih besar daripada pemilih tradisional”, harapnya.
Birokrasi netral, Dia berharap kepada Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri agar bersikap netral dan terlihat netral karena ternyata pilkada telah menghasilkan birokrasi yang terpecah. Dan terakhir penyelenggara yang kompeten dan berintegritas.
“Penyelenggara pemilu jangan nekad, sudah jelas ada aturannya, undang-undang no 7, peraturan KPU atau Bawaslu tapi tetap melanggar, melakukan sesuatu di luar koridor dengan alasan ijtihad politik. Haram hukumnya bagi penyelenggara di tingkat kecamatan, kabupaten bahkan tingkat provinsi melakukan ijtihad politik terkait dengan regulasi karena ini bukan ‘maqom’ anda di tingkat bawah melakukan ijtihad.” tutup Muhammad.
Panelis lain adalah Pramono Tantowi Ubaid (KPU RI), Moch. Afifudin (Bawaslu RI) dan Aditya Perdana (Puskapol UI). Diskusi yang dipandu oleh Nurul Nurhadjati ini dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, dan pegiat pemilu. [Dio]
i