Pekanbaru,
DKPP – “Nantinya, sesudah pemilihan serentak, yang lebih selektif, dan
eksekutif serentak, maka ada harapan terciptanya stabilitas dalam pemerintahan
dan makin kuatnya sistem presidensiil,†demikian ungkap Ketua DKPP, Prof. Jimly
Asshiddiqie, yang didaulat mengisi kuliah umum magister ilmu hukum di Unilak, pada
Sabtu (22/5).
Namun,
proses untuk menuju stabilitas pemerintahan dan kuatnya sistem presidensiil ini
memerlukan proses yang cukup panjang dan rumit. Dimulai dari pemilihan presiden
atau pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara serentak. Menurutnya,
Pemilukada serentak tergolong rumit. Jumlahnya banyak sekali dan pemilihan
langsung semua.
Sementara,
di Amerika Serikat sana, tidak ada pemilihan langsung, tapi tidak langsung. Pilpres
yang akan digelar November mendatang, yang dipilih adalah Electoral College. Bukan Popular
Vote, tapi Electoral Vote. Jadi,
rakyat memilih Electoral College atau
istilahnya Ahlul Halli Wal ‘Aqdi atau
Tim Formatur. Hanya saja, Tim Formatur ini banyak sekali, hingga 2000 orang.
Nantinya, dari 2000 orang inilah yang mengadakan kongres untuk memilih presiden.
Begitupun dengan pemilihan gubernur memakai Electoral
College.
“Jadi,
pemilihan seperti di AS yang kita tiru seolah-olah pemilihan langsung, bukan
pemilihan langsung. Akan tetapi, begitu kita tiru pemilihan di AS malah kita
lebih memilih langsung dari selangsung-langsungnya. Dan, bukan hanya pilpres, tapi
pemilihan gubernur, walikota, dan bupati juga. Jumlahnya 550, serentak seluruh
Indonesia, dipilih langsung pula. One man
one vote, apa tidak rumit? Rumit sekali, bahkan akan lebih rumit lagi jika itu
disatukan saat pilpres 2019 yang akan digelar sekaligus, dan diserentakkan,â€
urai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini.
Misal
ada 10 partai, mengajukan caleg, pada saat
yang sama partai ini juga mengajukan capres. Dari 10 partai ini, maka ada kemungkinan
peserta capres akan banyak.
“Dari
segi aturan, boleh, dua partai bergabung mengusung satu calon. Capres dari Partai
A, dan cawapresnya dari Partai B. Akan tetapi, pasti itu merugikan bagi partai yang calonnya nomor dua, sebab waktu
kampanye kan sekaligus, kampanye legislatif dan kampanye eksekutif. Kampanye
pilpres, sekaligus berdampak pada kampanye legislatif, maka bisa dipastikan
partai hanya akan mencalonkan dari partainya sendiri sehingga jumlah capresnya
akan banyak,†terangnya.
Jika capresnya banyak, lanjut Jimly, ada
kemungkinan Pilpres nanti menghasilkan pasangan capres yang terpilih, tapi partai
pendukungnya tidak lolos stres pun bisa terjadi, karena rakyat bebas menilih,
dia dapat 4 (empat) kertas surat suara, pilpres dia memilih dari Partai A, DPR Pusat
dia memilih dari Partai B, DPRD Provinsi dia memilih dari Partai C. Dan di kampung halamannya kabupaten atau kota
dia memilih dari Partai D. Jadi, rakyat memiliki kebebasan semacam itu,
sehingga orang yang terpilih nanti, bisa jadi partainya tidak duduk di DPR.
Apa
jadinya jikalau seperti itu, nantinya presiden pasti akan membuat koalisi.
Dalam koalisi itu dia pasti akan mengajak partai-partai yang lebih dari 50
persen atau 60 persen untuk duduk di kabinet.
“Maka
pembentukan koalisi itu cukup satu kali, yakni ketika membentuk kabinet,â€
tegasnya.
Coba
bandingkan dengan sekarang yang 3 (tiga) kali koalisi. Pertama, Pre Electoral Coalitions, sebelum pemilu.
Sesudah pileg selesai, pilpres tahap pertama, koalisi baru lagi, koalisi kedua.
Sesudah ronde pertama pilpres selesai, terbukti belum ada yang lolos 50 persen
ronde kedua, maka membentuk koalisi lagi yakni yang ketiga. Sesudah terpilih, jika
koalisi pilpres pertama, kedua, ketiga belum cukup 50 persen harus tambah lagi, maka ada koalisi ketiga
atau keempat.
Jadi,
ketika koalisi berubah, ada yang sakit hati, koalisi pertama lalu masuk koalisi
kedua. Duh, yang tadinya musuh kita, malah ikut dengan kita, dan ngerecokin
kita, mulai ada konkurensi. Koalisi ketiga, begitu juga. Nah, yang paling terakhir
ketika membentuk kabinet. Sialan, dia tidak ikut kampanye, kita yang
berdarah-darah, tapi dia yang dapat menteri.
“Jadi,
sistem pemerintahan yang dihasilkan oleh sistem pemilihan seperti yang kita praktekkan
sekarang ini, tidak menjamin stabilitas pemerintahan, tidak menjamin kuatnya sistem
presidensiil, tapi nanti sesudah pemilihan serentak, lebih selektif, dan
eksekutif serentak, maka ada harapan ialah makin kuatnya sistem pemerintahan presidential,â€
tegasnya. [Nur Khotimah]