Tarakan, DKPP – Mahasiswa sebagai elemen penting demokrasi adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai tanggungjawab sama dalam mengawal pemilu demokratis, yakni pemilu yang jujur dan adil (jurdil) sebagaimana amanat UUD 1945. Caranya, dapat dilakukan dengan turut berpartisipasi dalam mengawal penegakan kode etik bagi penyelenggara pemilu.
Tenaga Ahli DKPP, Mohammad Saihu menyatakan, pemilu yang demokratis akan terwujud oleh penyelenggara yang independen, berintegritas, kredibel dan bertanggungjawab. “Disebut sebagai agen perubahan (agent of change), mahasiswa punya peran besar mengawal penegakan kode etik penyelengara pemilu,” kata Saihu pada saat memberikan materi Sosialisasi Kode Etik Penyelenggara Pemilu di Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara, pada Jumat (15/2/2019).
Lebih lanjut Saihu menjelaskan bahwa, DKPP merupakan satu kesatuan fungsi dengan KPU dan Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilu. Tugas DKPP menerima dan memeriksa pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan menyidangkannya jika dinilai memenuhi syarat formil dan materiil dalam sidang terbuka untuk umum dengan sifat putusan final and binding (final dan mengikat). “Legal standing atau pengadu bisa dari mahasiswa, karena itu jika ditemukan dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu, mahasiswa dapat melapor, prosedurnya pun mudah, dan tidak berbayar,” jelas Saihu.
Lebih detail Saihu menjelaskan bahwa, subjectum litis atau pihak pengadu dalam perkara DKPP terdiri atas penyelenggara, peserta pemilu/tim kampanye, rekomendasi DPR, masyarakat/pemilih yang di dalamnya termasuk mahasiswa. Sedangkan pihak yang disebut Teradu hanya penyelenggara, yakni KPU dan Bawaslu beserta jajarannya sampai tingkatan paling bawah atau ad hoc, juga jajaran sekretariat, baik yang berstatus PNS atau non PNS. “DKPP punya pengalaman menerima pengaduan dari mahasiswa, itu bagus, dan saya kira partisipasi mahasiswa untuk turut serta menciptakan penyelenggara pemilu yang beretika dapat diteruskan, sambil belajar lebih banyak tentang kode etik penyelenggara pemilu. Manfaatnya, jika berminat menjadi penyelenggara pemilu, akan mengerti dan terhindar dari sanksi kode etik,” saran Saihu.
Kegiatan ini diikuti oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan, Magister Ilmu Hukum Universitas Borneo Tarakan, Magister Administrasi Publik Universitas Borneo Tarakan, BEM PT Universitas Borneo Tarakan, BEM STMIK PPKIA Tarakanita Rahmawati, aktivis HMI, GMNI, PMII se Kota Tarakan.
Pada sesi tanya jawab, Saihu menjelaskan ruang lingkup pelanggaran kode etik adalah semua jenis pelanggaran pemilu, yakni pelanggaran administrasi pemilu, pidana pemilu, sengketa pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. “Semua akan menjadi pelanggaran kode etik jika tidak dilaksanakan sesuai ketentuan,” ungkapnya. Selain itu, Saihu juga mencontohkan beberapa perkara yang diputus DKPP di luar tahapan pemilu, di antaranya masalalah pelecehan seksual, perjudian, narkotika, dan penganiayaan oleh penyelenggara pemilu. Jenis sanksi DKPP mulai dari peringatan biasa, peringatan keras, dan pemberhentian tetap. Untuk yang tidak terbukti direhabilitas. “Perlu mahasiswa ketahui, selain bersifat final dan mengikat, para penyelenggara pemilu yang mendapat sanksi pemberhentian tetap, tidak boleh lagi menjadi penyelenggara pemilu sampai kapan pun,” jelas Saihu yang didampimpingi Sapriani, anggota Tim Pemeriksa Daerah Provinsi Kalimantan Utara unsur Masyarakat
Dalam kesempatan ini, Sapriani menjelaskan mekanisme pengaduan ke DKPP, yaitu dengan cara mengisi formulir pengaduan/laporan; melampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau identitas lain Pengadu dan/atau Pelapor; melampirkan surat pernyataan yang ditandatangani oleh Pengadu dan/atau Pelapor; dan melampirkan alat bukti (minimal 2 alat bukti). “Pengadu bisa memberikan kuasa melalui surat kuasa khusus, jika pengaduan atau laporan disampaikan oleh kuasa hukum,” katanya.
Lanjut Sapriani,alat bukti yang harus disertakan yaitu: keterangan saksi; keterangan ahli; surat atau tulisan; petunjuk; keterangan para pihak. “Alat bukti ini bisa juga berupa data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna,” pungkasnya. [teten jamaludin;saihu]