Jakarta,
DKPP- Ketua
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Jimly Asshiddiqie, Jumat
(20/11), menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam diskusi publik yang
diadakan oleh Institute for Peace and Democracy (IPD) bekerja sama dengan
Center for Policy Studies and strategic Advocacy (CPSSA). Diskusi bertema
“Apakah Indonesia Masih Berada dalam Sistem Politik Demokrasi Presidensial?â€
tersebut digelar di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta.
Ketua CPSSA Letjen (Purn) Agus
Widjojo dalam sambutannya mengatakan, diskusi ini untuk melihat apakah sistem
pemerintahan presidensial di Indonesia masih sesuai dengan konsep sistem
presidensial atau tidak. Apalagi jika mengamati intensitas dinamika politik
Indonesia pasca-Pemilu 2014. Pemilu 2014 telah memunculkan dua kelompok yang
kuat yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Persoalan muncul ketika yang menang sebagai presiden adalah calon yang diusung
oleh KIH, yang notabene bukan mayoritas di parlemen.
“Persoalan lain adalah, apakah
amendemen UUD 1945 memperkuat sistem presidensial atau malah sebaliknya. Ini
yang akan kita bahas dalam diskusi ini. Harapannya ada gambaran apakah praktik
demokrasi dengan sistem presidensial ini masih on the track atau tidak,†ujar
Agus.
Prof Jimly tidak menampik bahwa
saat ini memang banyak ditemukan keresahan terhadap hasil amendemen UUD 1945.
Beliau menjelaskan, sebenarnya hasil amendemen tersebut telah mengonsolidasikan
lima materi, yaitu satu dari naskah UUD hasil Dekrit Presiden Juli 1959 dan
empat naskah hasil perubahan pertama sampai keempat. Hasil perubahan juga
memberi nama yang berbeda terhadap UUD 1945 menjadi UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
“Ini nama baru, seharusnya juga
ada teks baru. Kalau sekarang ada ide perbaikan ya monggo. Tapi yang power
sekarang ini kan ada di partai politik,†terang Prof Jimly.
Dipilihnya sistem presidensial oleh
founding leader bangsa ini, kata Prof Jimly, sangat terkait dengan pilihan
bentuk negara apakah federasi atau kesatuan. Waktu itu yang dibutuhkan
konsolidasi, maka yang dipilih negara kesatuan dengan sistem presidensial. Tapi
tidak lama, sistem tersebut diganti sistem parlementer. Kemudian kembali ke
sistem presidensial setelah Dekrit Presiden Juli 1959 sampai sekarang.
“Saat terjadi amandemen setelah
reformasi, entah karena takut dianggap menyalahi para founding leader, sistem
presidensial ini dijadikan basis dari perubahan tersebut. Perubahan UUD 1945 kemudian
dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial,†urai Prof Jimly.
Namun dalam perkembangan
terkini, antara teori presidensial dan parlementer sudah semakin lumer. Tidak
hanya terjadi di Indonesia, di negara lain pun menurut Prof Jimly telah terjadi
pertemuan (konvergensi) dua sistem tersebut. Dalam praktiknya, ciri-ciri
presidensial ternyata juga ada di negara parlementer.
“Kita harus melihat semua saat
ini tidak bisa lagi dipahami sebagai hitam-putih. Logika lama sudah tidak
berlaku lagi, Semua teori saat ini sudah lumer, berkembang dalam praktik. Yang
diperlukan adalah, kita semua harus siap membuka diri, siap belajar, dan
membenahi diri. masih banyak yang perlu dibenahi dari negeri ini,†tuturnya.
[Arif Syarwani]