Jakarta, DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie memberikan ceramah etika kepada peserta calon notaris anggota luar biasa dari seluruh Indonesia. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan bahwa pengertian etika, perilaku, kode etika (code of ethics), kode perilaku (code of conduct), norma disiplin, dan lain sebagainya tentu dapat dirumuskan secara sendiri-sendiri dengan membedakannya satu sama lain.
“Pengertian-pengertian yang dirumuskan oleh para ahli mengenai istilah-istilah ini juga sangat beraneka ragam satu sama lain. Ada yang melihatnya dari segi filsafat dan teologi, dan ada pula yang melihatnya dari segi teknis praktis. Kadang-kadang ada pula mengaitkannya dengan pengertian etiket yang berhubungan dengan soal-soal adab,” kata dia .
Hal itu disampaikan ketua DKPP Jimly Asshiddiqie saat jadi narasumber pada kegiatan pembekalan dalam Ujian Kode Etik Notaris Tahun 2013 bagi peserta calon Notaris Anggota Luar Biasa yang terdiri dari para lulusan Program Magister Kenotariatan seluruh Indonesia, yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia Pusat, pada Hari Rabu (6/11/2013) di Gedung Smasco-Convention Hall, SME Tower, Lantai 2, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Pendek kata, terlepas dari semua pengertian yang beraneka ragam itu yang tentunya harus didudukkan pada tempatnya masing-masing, yang jelas perkembangan pengertian mengenai etika sudah melewati fase sejarah yang sangat panjang.
“Dalam pandangan saya, pengertian etik tersebut sudah melewati empat tahap atau fase perkembangan generasi pengertian, yaitu pertama fase pengertian teologis (etika teologis). Kedua, fase pengertian ontologis (etika ontologis). Ketiga, fase pengertian positivis (etika positivist), dan terakhir pada fase perkembangan dewasa ini adalah fase pengertian fungsional (etika fungsional), ” terang dia
Dia menjelaskan, pertama; etika teologis, semua sistem etika berasal dari sistem ajaran agama. Kedua; etika ontologis, sistem etika sebagai objek kajian ilmiah. “Etika yang semula hanya dilihat sebagai doktrin-doktrin ajaran agama, dikembangkan menjadi ‘ethics’ dalam pengertian sebagai ilmu yang mempelajari sistem ajaran moral,” terang dia.
Ketiga, etika positivis; sistem etika itu tidak cukup hanya dikaji dan dikhutbahkan secara abstrak dan bersifat umum, tetapi diidealkan agar ditulis secara konkrit dan bersifat operasional. Terakhir, fase fungsional. “Tahap perkembangan generasi pengertian etika yang terakhir itulah yang saya namakan sebagai tahap fungsional, yaitu bahwa infra-struktur kode etika itu disadari harus difungsikan dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya dalam praktik kehidupan bersama. Untuk itu, diperlukan infra-struktur yang mencakup instrumen aturan kode etik dan perangkat kelembagaan penegaknya, sehingga sistem etika itu dapat diharapkan benar-benar bersifat fungsional,” tutup dia. (yr:ttm)