Sawahlunto, DKPP – Ketua Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu Prof. Jimly Asshiddiqie, memberikan materi
tentang Etika Penyelenggara Pemerintahan Daerah dalam kegiatan Diskusi Publik
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, di
Hall PT. Bukit Asam – UPO Kota Sawahlunto pada Kamis (20/11/2014).
Dihadapan peserta
diskusi publik, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa dalam perkembangan zaman modern sekarang mulai terlihat ada gejala
pemisahan antara norma hukum, norma etik dan norma agama. Masyarakat Kota Sawahlunto
terutama Pemerintahan Daerah diharapkan tidak terjebak pada teori-teori yang
menurut kebanyakan orang dianggap modern tetapi sesungguhnya tidak modern itu
yang dalam diskursus ilmiah yang cenderung menghilangkan
keutamaan kualitas akhlak individu dan akhlak sosial dalam praktik
penyelenggaraan negara.
Dalam
paparannya mantan ketua MK (2003-2008) ini menjelaskan dalam
kajian ilmu sosial dewasa ini, dikenal adanya 3 pendekatan ‘institutionalisme’ yang berkembang dalam praktik, yaitu
pendekatan- pendekatan (i) ‘sociological
institutionalism’, (ii) ‘rational
choice institutional- ism’, dan yang terbaru (iii) ‘historical institutionalism’. Bahkan, disimpulkan oleh Peter A.
Hall, ketiganya sebenarnya sama-sama baru.
“In sum,
political science today is confronted with not one but three ‘new
institutionslismsâ€, papar Jimly
“Namun,
yang paling baru memang ‘historical institutionalism’
yang mengembangkan pengertian mengenai institusi itu secara lebih luas dan
longgar. Dengan pendekatan terbaru ini, institusi- insitusi yang sebelumnya
memang sudah menjadi objek penelaahan dalam ilmu politik, sosiologi, dan
ekonomi, menjadi seakan ditemukan kembali. Dikatakan oleh Kathleen Thelen dan
Sven Steinmo, “The ‘rediscovery’ of
institutions has opened up an exiting research agenda in com- parative politics
and comparative political economyâ€, lanjut dia.
Penasehat KOMNAS HAM
ini juga menjelaskan
bahwa hukum yang dipahami sebagian sarjana hukum kita sekarang, bukan lagi sebagai satu-satunya alat yang
diandalkan untuk mengontrol perilaku masyarakat. Penjara memang dimaksudkan
untuk menjadi solusi karena untuk mengontrol perilaku masyarakat tetapi dalam
praktek tidak menyelesaikan masalah. Kita tengah mengalami krisis
akhlak/perilaku. Maka hukum di satu sisi tetap ditegakkan tetapi pada saat yang
bersamaan, apalagi terhadap aparat penyelenggara negara yang notabene sebagai
pelayanan publik harus ditegakkan etika. Oleh sebab itu, kita ingin menciptakan
sistem yang mampu menjamin perilaku baik dalam praktek bernegara, dan yang
sedang kita kembangkan adalah infrastruktur etika. Infrastruktur etika di
setiap lingkungan penyelenggara negara.
“Dalam
perkembangan praktik kehidupan bernegara, orang yang cenderung mengutamakan
pemahaman akidah orientik maka yang dihasilkan pun cenderung emosional.
Sebaliknya, yang lebih mengutamakan fiqih orientik maka cenderung menghasilkan
cara pandang yang rasionalistik. Padahal yang diutamakan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah perilaku. Oleh karena itu, selain
legal dan konstitusional juga dibutuhkan etikanya. Oleh sebab itu, pemerintahan
modern yang menganut sistem demokrasi modern tidak hanya mengedepankan aspek
legal dan konstitusional tetapi dimensi kebijakan yang bermuatan nilai kebaikan,â€
punkas Jimly.
Prof
Jimly mengingatkan bahwa bangsa Indonesia punya Pancasila dan UUD 1945 serta TAP MPR NO. 6 Tahun
2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang hendaknya dapat di-instal ke dalam praktik untuk membangun sistem penyelenggaraan pemerintahan
berbasis etika. RUU UU tentang Etika Penyelenggara Negara yang saat ini tengah
dibahas diharapkan bisa mewujudkan cita-cita kita bersama dalam membangun
sistem pemerintahan negara yang transparan.
Mantan ketua DK KPU ini
juga mengatakan
bahwa Kota Sawahlunto bisa memulai menggerakkan model baru dalam sistem etika kehidupan berbangsa ini. Ide-ide dalam
penyusunan peraturan daerah Kota Sawahlunto ke depan hendaknya diorientasikan
pada penguatan sistem etika kehidupan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
sehingga apa yang menjadi visi misi pembangunan daerah khususnya pemerintahan
Kota Sawahlunto yang berbasis pada asas-asas pemerintahan yang akuntabel bisa diwujudkan. Intinya adalah bagaimana
mentransformasikan nilai-nilai etik dan nilai-nilai budaya lokal Sawahlunto ke
dalam rumusan-rumusan Perda sehingga bisa menjadi model bagi seluruh Pemda di
Indonesiaâ€.
Diskusi
Publik dengan tema Etika Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
tersebut dihadiri
oleh unsur pimpinan Walikota Sawahlunto Ali Yusuf, Ketua DPRD Kota Sawahlunto
H. Emeldi, Kepala Kejaksaan Negeri Kota Sawahlunto Khairul Anwar, Kapolres
Sawahlunto AKBP. Joko Ananto, Ketua Pengadilan Negeri Sawahlunto Saiman, dan
Sekretaris Daerah Kota Sawahlunto Rovanly Abdams, serta seluruh jajaran
Pemerintahan Kota yang terdiri dari Pejabat Eselon II dan III serta Muspida
Kota Sawahlunto. Selain unsur Pemerintahan Kota Sawahlunto, hadir dalam Diskusi
Publik ini juga dari unsur organisasi kemasyarakatan seperti Ketua Lembaga
Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kota Sawahlunto, Ketua KAN (Kerapatan
Adat Nagari) Se-Kota Sawahlunto, Organisasi Kepemudaan seperti KNPI (Komite
Nasional Pemuda Indonesia) serta media massa. (ry).