Kendari, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan kedua dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu perkara nomor 129-PKE-DKPP/VI/2019 di Kantor Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara, pada Kamis (1/8).
Bertindak sebagai Ketua Majelis sidang Dr. Alfitra Salam, dengan anggota majelis Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Sulawesi Tenggara yakni, Hidayatullah (unsur Masyarakat), Ade Suerani (unsur KPU), dan Bahari (unsur Bawaslu).
Pengadu dalam perkara ini adalah Rahim dari LSM Garuda Buton Tengah. Ia mengadukan Ketua dan Anggota Bawaslu Kabupaten Buton Tengah, yaitu Helius Udaya dan Lucinda Theodora.
Ini merupakan sidang yang kedua. Rahim tidak hadir dalam sidang pertama yang diadakan pada 8 Juli 2019 sehingga majelis pada saat itu memutuskan untuk mengadakan sidang kedua untuk mendengarkan pokok aduan darinya selaku Pengadu.
Dalam pokok aduan, Rahim mendalilkan para Teradu telah melakukan pelanggaran yang dilakukan Petugas KPPS TPS 03 Kelurahan Watolo, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah. ia menduga bahwa kedua Teradu telah mengambil alih permasalahan dua surat suara yang tidak ditanda tangani oleh Ketua KPPS TPS 03 saat penghitungan suara pada 17 April 2019.
Dua kotak suara itu diketahui telah tercoblos untuk dua Caleg dari PDI Perjuangan. Menurut Rahim, Helius mengambil alih persoalan dengan menanyakan apakah dua surat suara dapat disahkan kepada para saksi yang ada di TPS. Kejadian ini, menurut dalil aduan, terjadi pada pukul 23.00 WITA.
Belakangan, kedua surat suara itu dinyatakan tidak sah dan Bawaslu Kabupaten Buton Tengah mengeluarkan rekomendasi untuk dilaksanakannya PSU di TPS tersebut. Hanya saja, menurut Rahim dalam dalil aduannya, Helius melontarkan pernyataan yang berbeda kepada media massa terkait hal ini.
“Dalam aturan, kata Helius, rekomendasi Bawaslu itu tidak wajib untuk dilaksanakan. Bisa dilaksanakan dan bisa juga tidak dilaksanakan. Demikian pula rekomendasi PSU ini, tergantung dari kajian KPU Buteng sendiri, apakah memenuhi unsur atau tidak untuk dilaksanakan PSU,” sebut Rahim.
Pernyataan Helius yang dimaksud Rahim dalam dalil aduannya telah dipublikasi oleh media massa setempat, yaitu Publiksatu.com dan butonpos.fajar.co.id, pada 23 April 2019. Hal ini berbeda dengan pernyataan Helius yang dimuat media penasultra.com pada 26 April 2019.
“Untuk TPS 3 Kelurahan Watolo, Kecamatan Mawasangka wajib dilakukan PSU karena telah terjadi pelanggaran Pemilu,” demikian ucapan Helius dalam penasultra.com.
Dalil aduan ini sebelumnya telah dibantah oleh Helius selaku Teradu I pada sidang sebelumnya. Kali ini, ia kembali menegaskan bantahan terhadap dalil yang diadukan Rahim.
Helius mengatakan, tidak benar bahwa ia berada di TPS saat kejadian tersebut. Menurutnya, ia tiba di TPS 03 Watolo justru saat permasalahan ini sudah diselesaikan oleh petugas KPPS bersama saksi-saksi dari partai politik.
“Teradu menyampaikan bahwa surat untuk Pemilu DPR dinyatakan sah bila surat suara ditandatangani KPPS. Semua yang hadir di TPS tidak ada yang menyatakan keberatan,” ungkap Helius.
Bawaslu Kabupaten Buton Tengah, lanjut Helius, telah mengeluarkan rekomendasi 01 sebagai bentuk penyelesaian dan memastikan seluruh pemilih terlindungi hak pilihnya. Benar bahwa Pengawas TPS mengkonfirmasi kejadian di TPS 03 dan sedang dilakukan pengkajian oleh Panwas untuk memeriksa keterpenuhan syarat formil dan materiel.
“Teradu tidak melakukan pembiaran atas pelanggaran Pemilu di Kelurahan Watolo, Kecamatan Mawasangka terbukti dengan rekomendasi PSU. Kejadian tanggal 17 April 2019, dan pelaporan masuk di tanggal 20 April 2019, selama rentang waktu sebelum adanya laporan, Teradu meminta Panwascam untuk melakukan pengkajian terhadap kejadian,” jelasnya.
Selain Pengadu dan Teradu, hadir juga Pihak Terkait dan Saksi dalam sidang ini. Pihak Terkait yang hadir dalam sidang ini adalah Farman Sanuddin, sedangkan Saksi yaitu La Ode Sunarto, Wiradat dan Muh. Anine Biru.
Keterangan dari Pihak Terkait, berada di TPS mendampingi Pimpinan, dan benar bahwa ada kejadian tersebut, dan Pimpinannya menyatakan bahwa sesuai PKPU jika surat suara tidak ditandatangani KPPS, maka surat suara tersebut dinyatakan tidak sah.
Saksi menyatakan bahwa sebagai pemantau (KIPP) berada di tempat kejadian dan menyaksikan saat penghitungan suara ada surat suara yang sudah tercoblos PDIP dan tidak ditandatangan KPPS. Dia menyarankan KPPS untuk menolak surat suara tersebut.
Kemudian, Ketua Bawaslu mencoba untuk melakukan kesepakatan bersama para saksi dan menyatakan jika tidak ada yang berkeberatan, kita sahkan saja surat suara ini. Satu surat suara sudah dihitung dan dinyatakan sah, namun tidak dimasukan ke dalam kotak suara. [Nur Khotimah/Wildan]