Jakarta,
DKPP – Anggota KPU Republik Indonesia, Ida Budhiati, duduk sebagai Teradu dalam
sidang dugaan pelanggaran kode etik yang digelar siang kemarin (21/1). Namanya
diseret karena dituduh telah melampaui undang
undang. Pengadu, Miduk Purba, menuduhnya telah membuat penafsiran sepihak
atas putusan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PT TUN) Medan, membuat pernyataan untuk mempengaruhi KPU Humbang
Hasundutan (Humbahas), dan tidak pernah meminta penjelasan kepada PT TUN
didalam melaksanakan putusan Pengadilan Tinggi TUN Medan tahun 2015.
“Atas
tuduhan tersebut, saya menolak dengan keras karena saya tidak pernah bertindak untuk,
dan atas nama pribadi sendiri dalam melaksanakan tugas-tugas pemilu. Saya menyadari
sepenuhnya dan seutuhnya bahwa sebagai seorang anggota tidak dapat berjalan
atas nama pribadi sendiri, melainkan terikat tata kerja dan kode etik
penyelenggara pemilu. Kebijakan KPU diterbitkan bukan atas nama saya tapi atas
nama instutusi,†terang Ida dalam
persidangan.
Singkatnya,
lanjut Ida, pada saat KPU Provinsi Sumut dan KPU Humbahas hadir di kantor Imam Bonjol
(Kantor KPU RI. red), dan diterima oleh Komisioner KPU RI, kami meminta KPU Humbahas
menjelaskan kronologi masalah pencalonan sampai dengan terbitnya keputusan PT
TUN. Setelah mendengar penjelasan dari KPU Humbahas dan KPU Provinsi Sumut,
diadakanlah rapat pleno, dan untuk melakukan telaah terhadap kronologis dan dokumen-dokumen
pendukung lainnya, termasuk putusan PT TUN. Dari hasil pencermatan itu, maka
kami memandang perlu menggelar rapat koordinasi dengan Bawaslu dan DKPP.
“Nah, pada
Tripartite tersebut, yang disebut-sebut Pengadu tadi, kami mendapat saran untuk
berpegang pada ketentuan peraturan perundang-undangan, UU No 1 tahun 2015 Pasal
40 bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik
hanya dapat mengusulkan 1 (satu) calon, dan calon tersebut tidak dapat
diusulkan lagi oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik lainnya,â€
jelas Ida.
Terhadap
pesan ini, lanjut Ida, kami kembali melakukan pencermatan ulang terhadap
putusan PT TUN. “Kami memahami bahwa putusan PT TUN antara pertimbangan hukum
dan amar putusan adalah satu kesatuan. Didalam pertimbangan hukum PT TUN tersebut, di halaman 78 Majelis Hakim PT TUN menyatakan memperoleh keyakinan secara
hakkul yakin bahwa tanda tangan dalam surat-surat yang dijadikan sebagai alat
bukti pemenuhan dukungan dalam pendaftaran bakal calon Palbert Siboro-Henri Sihombing
tidak sama dengan tandatangan Ersa Sinaga. Majelis Hakim berkesimpulan bahwa
persyaratan pendaftaran bakal paslon Palbert Siboro-Henri Sihombing mengandung
cacat yuridis,†tegasnya.
Kemudian
pada halaman 82, lanjut Ida, Majelis Hakim PT
TUN juga menyatakan bahwa gugatan
para penggugat dikabulkan, memberikan kesempatan kepada penggugat sebagai calon
bupati dan wakil bupati Humbahas dengan menyatakan batal dan mencabut keputusan
tergugat KPU Humbahas Nomor 126 dan 181, dan diperintahkan menerbitkan kembali keputusan
KPU Humbahas dengan mencantumkan nama Harri
Marbun-Momento N.M Sihombing sebagai paslon bupati dan wakil bupati Humbahas.
“Bahwa
pertimbangan hukum sebagaimana Saya uraikan tidak berbeda dengan amar putusan PT
TUN, sehingga kami memandang tidak ada kepentingan dan tidak ada kebutuhan bagi
KPU untuk bertanya lagi kepada PT TUN Medan karena sudah cukup jelas, dan sudah
cukup jelas apa yang seharusnya dilakukan oleh KPU Humbahas.
Berdasarkan
telaah inilah, lanjutnya, kami menerbitkan surat tertanggal 22 dan 23 Oktober kepada
KPU Prov. Sumut agar melakukan supervisi terhadap KPU Humbahas untuk segera
melaksanakan putusan PT TUN yang
bersifat final dan memikat sesuai pasal 154 ayat 11.
“Demikian
Yang Mulia yang bisa kami jelaskan. Sekali lagi, tidak ada tindakan atas nama
pribadi saya terkait dengan pelaksanaan putusan PT TUN ini, dan bisa dibuktikan
dari seluruh dokumen-dokumen bagaimana rapat-rapat KPU untuk sampai kepada
keputusan untuk memberikan panduan dan pedoman kepada KPU Humbahas,†tutupnya. [Nur Khotimah]