Palangkaraya, DKPP – Tenaga
Ahli DKPP, Dr. Ihat Subihat dalam paparannya pada Bimbingan Teknis Bantuan Hukum
kepada penyelenggara tentang Pelanggaran Kode Etik, Pelanggaran Administrasi,
Penyelesaian Sengketa, Tidak Pidana dan PHP (Perselisihan Hasil Pemilu) di
Hotel Aquarius Boutique Jumat (24/7) menjelaskan bahwa penanganan perkara dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu oleh
DKPP dijalankan melalui sebuah sidang kode etik yang bersifat terbuka.
“Seluruh proses persidangan mengikuti mekanisme peradilan umum. Antara
lain, misalnya, dalam sidang DKPP ada majelis yang terdiri atas Ketua/Anggota
DKPP dan Anggota Tim Pemeriksa Daerah, ada para pihak seperti Pengadu, Teradu, Saksi, dan Pihak Terkait; serta
dapat diikuti langsung oleh masyarakat maupun media massaâ€, kata Doktor Ilmu Hukum Pidana Universitas Pajajaran, Bandung ini.
Selanjutnya
mantan ketua Panwaslu Provinsi Jawa Barat ini menerangkan Asas-Asas Persidangan
DKPP yang dibagi ke dalam tiga hal, pertama asas pra persidangan, kedua asas
persidangan dan yang terakhir adalah putusan.
Pra Persidangan terdiri
atas Speedy administration of justice, speedy
trial atau peradilan yang cepat, artinya seseorang berhak untuk cepat
diperiksa oleh hakim demi terwujudnya kepastian hukum bagi mereka. Restitutio in Integrum atau kekacauan dalam masyarakat, haruslah
dipulihkan pada keadaan semula (aman). Artinya, hukum harus memerankan
fungsinya sebagai “sarana penyelesaian konflikâ€), Acori in cumbit probation artinya pengadu harus punya bukti, dan Probation plena atau bukti tertulis yang
wajib disertakan dalam laporan.
Asas Persidangan terdiri atas Cogatitionis poenam
nemo patitur atau
tidak seorang pun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau yang ada di
hatinya. Artinya, pikiran atau niat yang ada di hati seseorang untuk melakukan
kejahatan tetapi tidak dilaksanakan atau diwujudkan maka ia tidak boleh
dihukum. Di sini menunjukkan bahwa hukum itu bersifat lahir, apa yang dilakukan
secara nyata, itulah yang diberi sanksi.
Ius curia novit atau hakim dianggap
mengetahui hukum. Artinya, hakim tidak boleh menolak mengadili dan memutus
perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan tidak ada hukumnya karena ia
dianggap mengetahui hukum dan Nemo judex indoneus in propria, tidak
seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri.
Artinya, seorang hakim dianggap tidak akan mampu berlaku objektif terhadap
perkara bagi dirinya sendiri atau keluarganya, sehingga ia tidak dibenarkan
bertindak untuk mengadilinya
Asas Putusan terdiri atas Lex dura, sed temen
scripta
artinya hukum
itu keras demikianlah adanya. In
dubio pro reo,
apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa, hakim
harus menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi terdakwa. Res judicate proveri tate
habetur
atau setiap
putusan pengadilan/hakim adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang
lebih tinggi dan Final
and binding atau final
dan mengikat.
Narasumber
lain yang hadir memberikan materi Mimtek adalah Ketua KPU, Bawaslu, PTUN Provinsi Kalimantan Tengah, Pengadilan Tinggi Palangkaraya, MKRI. [Diah
Widyawati]