Jakarta,
DKPP – Ketua Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof. Jimly Asshiddiqie, menerima kunjungan kerja
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kulonprogo, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (29/12) pukul 10.00 WIB. Dengan didampingi
oleh Tenaga Ahli DKPP, Firdaus, dan Kepala Subbagian Pengaduan Verifikasi
Wilayah Satu, Titis Adityo Nugroho, mereka diterima di Ruang
Rapat Pleno DKPP, Gedung Bawaslu Lantai 5.
Ponimin Budi Hartono, Wakil Ketua I DPRD, selaku
juru bicara rombongan menyatakan bahwa pihaknya ingin
menggali lebih jauh tentang kode etik bagi anggota DPRD dalam penyelenggaran
pemilu, mengingat, Kabupaten Kulonprogo akan melaksanakan Pemilukada Tahun 2017.
“Persiapan kami kurang lebih
satu tahun, mohon petunjuk teknis dan masukan bagi kita. Dan yang kedua, yang
ingin kami tanyakan adalah adanya perubahan kode etik di Badan Kehormatan (BK)
DPRD Kab. Kulonprogo, yang pad intinya, nanti
teman-teman pansus (panitia khusus-red) memiliki gambaran
implementasi di daerah seperti apa berdasarkan jawaban dari Pak Ketua DKPP?†tanya
Ponimin.
Sebelum
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh jubir DPRD Kab. Kulonprogo, Prof. Jimly Asshiddiqie
mengucapkan selamat datang, dan mempersilakan para anggota DPRD untuk ikut
sidang jika masih berlangsung.
“Peradilan
etik haruslah terbuka, dan persidangan di DKPP dilaksanakan secara terbuka.
Berbeda dengan persidangan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang dilaksanakan
secara tertutup. Kalaupun terbuka itu juga karena dipaksa,†terang Jimly.
Mekanisme
penggunaan istilah mahkamah, sambung Jimly, itu juga baru, yang sebelumnya dikenal dengan
sebutan Badan Kehormatan. Nantinya, Akan ada RUU (Rancangan Undang-Undang.red)
tentang Etika Lembaga Negara dengan standar yang sama dalam penegakan. Akan
tetapi, materi atau isinya berbeda
karena memasukkan local wisdom atau kearifan lokal masing-masing daerah.
“Jangan
harap hukum bisa berjalan, kalau etika tidak ditegakkan. Saat ini, trending
topik di dunia adalah pelembagaan peradilan etika,†tegas Jimly.
Masih
menurut Mantan Ketua MK bahwa masalah etika adalah masalah yang serius. Bahkan,
di Sawahlunto akan dibuat kode etik di pemerintahan. Terkait peradilan etika di
DPRD sebenarnya sudah lengkap karena sudah ada BK. Dia berharap Kab. Kulonprogo
bisa menjadi peradilan kode etik di Indonesia.
“Hukum
semakin lama semakin tumpul. Kita ambil contoh misalnya, hukuman paling berat
adalah penjara seumur hidup. Namun, penjara tidak mengubah tabiat penghuninya
menjadi orang yang lebih baik, malah justru meningkatkan peringkat
kejahatannya, menjadi lebih kriminal. Semakin lama, penjara menjadi sangat
padat dan menjadi school of criminals.
Penjara bukan lagi solusi. Jadi, pendekatan hukum bukan solusi, ditambah lagi prosesnya
yang sangat lama,†jelasnya.
Contoh
saja Aceng Fikri, lanjutnya, terpilih lagi sebagai anggota dewan. Dia tidak
terbukti melanggar hukum tetapi melanggar etika. Contoh yang bagus adalah Andi
Malarangeng dengan sikapnya mengundurkan diri dari jabatan publik, karena
dimata etika sudah dipandang salah walaupun proses hukum masih berjalan.
“Ketika
kita melihat kasus Setnov, kebanyakan orang sudah puas dengan pengunduran
dirinya dari jabatan sebagai Ketua DPR, padahal proses hukumnya masih berjalan.
Saat ini, orang lebih takut dipecat dari
jabatan,†tegasnya.
Masih
menurut Jimly bahwa saat ini, etika jabatan penting sekali dan menjadi tren di seluruh
dunia. Yang awalnya, pada Abad-19 etika masih bersifat privat. Kemudian pada
Abad-20 diformalkan menjadi undang-undang. Bahkan, di Negeri Paman Sam, semua
lembaga negara memiliki kode etik sekaligus petugas penegaknya. Dan, masing-masing
negara bagian bahkan memiliki lembaga etika permanen untuk mengontrol etika
penyelenggara negara. Ide peradilan etik itu sudah lama. Negara Amerika Serikat
saja, jabatan senator dan gubernur sangat prestisius dan powerfull. Akan tetapi,
senat sangat takut dengan ethic commission, sehingga sangat profesional dalam
bekerja.
“Kita
ambil contoh perzinahan, yang sejatinya masuk ke ranah hukum, tapi apabila mendekati
zina sudah masuk ranah etik. Baru mendekati zina saja, sudah termasuk melanggar
etik. Etika bersifat mencegah dan mendidik lewat sanksi yang bertahap,†tutupnya. [Nur Khotimah]